Jumat, 30 Desember 2016

Pranata Kolonialisme di West Papua

Foto Pemakaman Mako Tabuni

UNTUK berbagai ragam masalah di tanah Papua, kita mau tidak mau mesti berangkat dari pengertian bahwa bangsa Papua sedang dijajah. Peliknya persoalan dan jenis kesengsaraan yang menimpa orang Papua, merupakan bentuk dari kolonialisme modern yang kemudian dapat dibahasakan sebagai imperialisme. Dengan begitu, perspektif cara pandang kita menjadi jelas bahwa semua ketimpangan ekonomi, sosial dan politik di West Papua merupakan anak kandung kaum imperialis yang bernama, Indonesia.

Dalam prakteknya, penjajahan di teritori West Papua, Indonesia menggunakan metode yang kurang lebih serupa dengan pengalaman yang dialaminya selama menjadi korban penjajahan. Selama hampir dua ratus tahun, daerah-daerah di Indonesia mengalami periode kekerasan dari praktek kolonialisme Belanda. Praktek kekerasan dalam mengendalikan tanah jajahan ini disebut sebagai repressive colonialism. Selain Belanda, bentuk penjajahan seperti ini antara lain diterapkan oleh beberapa negara Eropa seperti Spanyol dan Prancis. Tipe kolonialisme yang represif ini mensyaratkan penutupan ruang-ruang kebebasan bereskpresi dan penghancuran yang simultan serta kontinyu terdapat upaya-upaya kemerdekaan yang muncul sebagai aspirasi sosial politik rakyat jajahan.
Bentuk tersebut agak berbeda dengan jenis kolonialisme yang diterapkan Amerika Serikat dan Inggris yang disebut liberal colonialism. Bentuk kolonialisme macam inu, bergulir dengan cara menjadikan daerah-daerah jajahan menjadi satelit yang terikat dengan kebebasan yang terbatas. Daerah-daerah koloni dikontrol sedemikian rupa dengan pendekatan hegemonik sehingga menjadikan mereka yang terjajah merasa tidak membutuhkan kemerdekaan. Bekerja melalui perangkat-perangkat ideologis sehingga aspirasi sosial politik masyarakat terjajah adalah ketergantungan yang bersifat adiktif terhadap penjajahnya.

Ekspansi kekuasan Indonesia yang dilakukan Soekarno melalui Trikora (Tri Komando Rakyat) terhadap wilayah kedaulatan West Papua, yang dimulai pada 1 Mei 1961 (atau 19 hari setelah deklarasi Manifesto Kemerdekaan West Papua) menjadi awal dari penjajahan tersebut. Aksi ekspansif Indonesia ke tanah Papua, dengan berbagai alasan pembenarannya justru menjadi pembuktiaan mental militerisme dan hasrat kolonialisme penguasa Indonesia saat itu yang akhirnya terus berlangsung hingga sekarang. Praktis, hal tersebut menjadikan West Papua sebaga wilayah protektorat dari kolonial Indonesia. Tindakan Indonesia yang menganesksasi Papua sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kelakuan Perancis di daerah-daerah Indocina tahun 1889, atau tidak jauh berbeda dengan tindakan kolonial Belanda terhadap Indonesia di masa lalu. Warisan sifat-sifat kolonialis Eropa di Indonesia misalnya tampak jelas dalam praktek pecah belah (devide et impera) dan mengutamakan pendekatan yang berkarakter militeristik. Orang-orang Papua kemudian saling diadu dan dipecah belah. 
Sekolah-sekolah Indonesia di Papua kemudian mengajarkan bahwa menuntut kemerdekaan adalah sesuatu yang illegal dan Indonesia bukanlah penjajah. Jika ada kelompok yang telah mencapai kesadaran politik dalam dirinya untuk menuntut hak sebagai manusia merdeka, mara mereka akan berhadapan dengan senjata. Penyiksaan, penangkapan semena-mena, hingga eksekusi politik kemudian dianggap lumrah. Menebar teror ke tengah bangsa Papua agar mereka menutup mulut dan tidak bicara soal kemerdekaan.

Selain dua strategi di atas, Indonesia juga menjalankan praktik penjajahan lain melalui politik asimilisasi (Indonesianisasi). Praktek ini dijalankan dengan pendapat bahwa orang Papua masih terbelakang dan tuntutan kemerdekaan yang muncul semata-mata karena ketidakpahaman mengenai ke-Indonesia-an itu sendiri. Praktek Indonesianisasi ini, misalkan, dijalankan melalui pendidikan sosial budaya baik melalui sekolah maupun institusi terkait lain. Orang Papua sebagai ras Melanesia diajarkan bahwa mereka adalah Indonesia itu sendiri walau sebenarnya West Papua tidak berbagi kesamaan sejarah dan budaya seperti Melayu Indonesia.

 Pendekatan macam ini digunakan sebagai bagian dari trik untuk menjadikan bangsa Papua sebagai bangsa terjajah kemudian memiliki ketergantungan kepada penjajah Indonesia dan akhirnya takut untuk berdiri di atas kakinya sendiri. Alasan lain penggunaan taktik asimilasi ini adalah menguatnya tekanan internasional atas rangkaian praktek kekerasan oleh Indonesia terhadap aktifis kemerdekaan Papua dan juga pembatasan kebebasan hak-hak politik warga sipil. Sejauh ini semua taktik Indonesia untuk menundukkan Papua dan hasrat kemerdekaannya masih belum berhasil. Dalam beberapa kasus, justru dukungan terhadap Papua semakin meluas setelah masyarakat internasional menyaksikan bagaimana orang Papua ditindas di tanahnya sendiri.

Selain itu, rakyat West Papua mulai memahami sejarah dirinya sebagai bangsa dan bagaimana kemudian pola kolonialisme yang dilakukan Indonesia secara menyeluruh di tanah Papua. Pendidikan sejarah dan budaya orang Papua kemudian secara perlahan menjadi alat untuk menumbuhkan kesadaran dalam menuntut kemerdekaan sebagai bangsa yang bermartabat. Orang-orang Papua (khususnya generasi muda) kemudian dapat memahami bahwa berbagai konflik di tanah Papua sebenarnya dilahirkan oleh kontradiksi alamiah antara dua kekuatan yang bertentangan. Di satu sisi ada semangat kolonialisme Indonesia, sementara di sini yang berseberangan ada hasrat mulia anak-anak Papua untuk memerdekakan diri dari penjajahan. 
Seperti yang dikatakan Frantz Fanon bahwa, akan selalu ada kontradiksi antara kolonialisme yang semakin kokoh menanamkan kuku dan semakin tingginya spirit dekolonisasi dari bangsa yang terjajah. Kontradiksi tersebut kemudian akan meruncing kepada benturan konflik antara dua kepentingan yang berbeda ini. Sebagai seorang revolusioner Fanon menyadari bahwa satu-satunya cara untuk menyelesaikan konflik yang terjadi terus menerus tersebut adalah dengan menghapuskan penjajahan itu sendiri. Sebab, penjajahan adalah akar dari konflik-konflik tersebut.
Dalam kasus yang sedang dialami bangsa Papua, solusi yang ditawarkan Fanon belum tercapai. Hal ini disebabkan karena praktek penindasan kolonial Indonesia berupaya untuk terus mempertahankan teritori tanah Papua sebagai objek transaksi ekonomi politik Indonesia dan para pendukungnya seperti Amerika Serikat. Namun kita semua juga harus tahu dan memahami bahwa sebagai penjajah, Indonesia sendiri sebenarnya tidaklah benar-benar merdeka. Penguasa kolonial Indonesia buktinya masih juga memiliki ketergantungan dengan seperti Amerika Serikat. Dengan kata lain, Indonesia adalah penjajah yang juga masih terjajah. Dijajahnya Indonesia secara ekonomi dan politik oleh bangsa lain menjadi salah satu sebab mengapa, eskploitasi terhadap Papua berlangsung berkali lipat lebih keras. Bahwa rakyat Indonesia sendiri masih berada di bawah bayang-bayang imperialisme global yang membuat nasibnya sedikit lebih baik karena berhasil menjerumuskan rakyat West Papua ke dalam mata rantai penindasan..
Aneksasi Indonesia terhadap Papua pada 1 Mei 1961, sebenarnya jelas bertentangan dengan semangat dasar dekolonisasi dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) di tahun 1955, yang mana Indonesia merupakan salah satu bangsa penggagasnya. Dalam KAA pertama itu, tercantum dengan jelas bahwa forum tersebut berupaya mendorong kemerdekaan bangsa-bangsa yang sedang berada di bawah penjajahan dan saling bantu antar bangsa yang baru saja merengkuh kemerdekaannya. Namun delapan tahun kemudian, Indonesia mengkhianati semangat KAA dengan menjadikan bangsa Papua sebagai jajahannya. Walau sebenarnya Indonesia dapat mengambil pilihan lain yang lebih bermartabat, yaitu dengan ikut mendorong dekolonisasi West Papua sekaligus mengulurkan tangan dan membantu bangsa Papua membangun diri dan bangsanya.
 Pilihan untuk menempuh cara-cara imperialis kolonialis seperti yang dilakukan bangsa Eropa sebelumnya terhadap Indonesia, membuktikan bahwa penguasa Indonesia telah diracuni oleh pemikiran kolonialisme tersebut. Dengan begitu tentu kita semua dapat menemukan bahwa sikap Indonesia dalam KAA baru-baru ini terkait soal kemerdekaan Palestina menjadi sesuatu yang kontra produktif. Sebab ketulusan mendukung kemerdekaan sebuah bangsa tidak mungkin kita temukan dari mulut seorang penjajah. Dukungan Indonesia terhadap Palestina menjadi tidak sesuai dengan kenyataan praktek kolonisasi teritori West Papua.

Semangat nasionalisme Indonesia yang dibentuk sebagai semangat anti penjajahan, seharusnya tidak digunakan untuk membenarkan praktik penjajahan itu sendiri. Indonesia juga seharusnya berhenti melakukan tindak rekayasa sejarah dengan mengaitkan teritori West Papua sebagai wilayah kedaulatannya. Sebab sejarah sosial budaya antara West Papua dan Indonesia jelas berbeda. Indonesia dan West Papua hanya akan dapat menemukan kesamaan mereka pada soal spirit untuk mendorong kemerdekaan dari penjajahan dan cita-cita membangun bangsa masing-masing untuk menjadi lebih maju dan beradab.

Pembebasan Bangsa
Perlawanan rakyat Papua terhadap pendudukan kolonialisme Indonesia di teritori West Papua tidaklah terkurung dalam romantisme dan nasionalisme sempit. Perjuangan orang-orang West Papua untuk mencapai kemerdekaan dilandaskan sepenuhnya pada kesadaran dan gagasan yang lebih besar. Yakni kesadaran untuk bebas dari segala bentuk dan aktor yang sedang menguasai dan menjajah serta merusak bumi Papua. Selayaknya bangsa-bangsa lain di dunia, bangsa Papua juga memiliki hak azasi untuk menentukan nasibnya sendiri. Penentuan nasib sendiri adalah pintu awal untuk kembali menata peradaban bangsanya.

Penentuan nasib sendiri oleh orang Papua adalah cara untuk menyelamatkan bumi Papua dari kerusakan besar-besaran yang terus melanda. Penentuan nasib sendiri secara ekonomi dan politik adalah cara untuk menghentikan konflik bersenjata dan lingkaran kekerasan yang menjadikan anak-anak Papua sebagai korban. Penentuan nasib sendiri adalah cara untuk menyelamatkan orang Papua dari kepunahan. Penentuan nasib sendiri adalah cara agar orang Papua dapat maju dan berkembang sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Penentuan nasib sendiri adalah cara agar orang-orang Papua tidak lagi menjadi warga kelas dua di atas tanah leluhurnya. Penentuan nasib sendiri adalah cara menyelamatkan warisan kebudayaan Papua yang beragam agar tidak musnah. Penentuan nasib sendiri adalah tuntutan nurani setiap anak Papua.

Penentuan nasib sendiri termasuk di dalamnya kebebasan agar orang Papua dapat menentukan sistem ekonomi yang dapat melepaskan bangsanya dari ketergantungan mekanisme pasar global. Sistem ekonomi yang bebas dari intervensi neo-liberalisme yang merupakan wajah baru kolonialisme. Penentuan nasib sendiri adalah soal bagaimana anak-anak Papua mengambil tanggung jawab untuk menata sistem perekonomian yang sesuai dengan corak produksi rakyat Papua sendiri. Agar di kemudian mama-mama kami tidak berjualan di atas trotoar jalan, atau terkucil di bawah dominasi ekonomi kapitalis yang dilindungi penguasa kolonial Indonesia. Dengan penentuan nasib sendiri Papua dapat kembali menjadi bangsa yang bermartabat serta kembali dapat menata hidup dalam kekerabatan keluarga, marga dan suku di atas tanah Papua, sesuai dengan wilayah adat kami masing-masing. Kemerdekaan bagi orang-orang Papua berarti bahwa kami dapat mengatur sendiri kontruksi sosial budaya kami dalam tata hidup budaya Melanesia.

Kami yakin bahwa dengan kemerdekaan, kami orang Papua dapat menemukan kembali nilai dan prinsip-prinsip politik yang telah tertanam dalam kehidupan sosial-politik kami, dan mencegah bangsa kami untuk melakukan atau mendiamkan segala bentuk penindasan manusia bumi.

Itu mengapa hak untuk menentukan nasib sendiri bagi bangsa Papua harus diperjuangkan untuk memutus mata rantai penindasan. Menindas orang-orang Papua sebagai jalan keluar karena penindasan yang diterima dan dialami Indonesia dari bangsa lain, tidak akan membuat bangsa Indonesia jauh lebih baik. Sebaliknya, mendukung kemerdekaan Papua akan membuat Indonesia satu langkah lebih dekat dengan kemerdekaannya dari penjajahan ekonomi dan politik bangsa lain.
Ternyata anda tahu banyak tentang Papua. Namun, banyak orang menanggap bahwa orang Papua ingin merdeka karena mereka merasa tidak puas dengan pembangunan, adanya penindasan politis, diskriminasi, marganalisasi, genoside kultural dan lain-lain dan lain-lain yang dikategorikan ke dalam faktor periferi. Saya ingin tekankan di sini bahwa bukan itu yang menjadi pokok masalah mengapa orang Papua ingin merdeka.

Di samping itu, masalah Papua harus ditinjau secara empirik juga, bahwa Papua
belum pernah merupakan bagian dari Indonesia. Di dalam "Indonesia nation
building", Papua tidak pernah merupakan bagian dari proses itu. Dan memang,
Papua secara kultural tidak merupakan bagian dari Indonesia.




SHARE THIS

Facebook Comment

0 komentar: