Selasa, 12 Juli 2016

KAMPANYE BARU KOLONIAL INDONESIA MENGHALAU GERAKAN PAPUA MERDEKA

Kampanye Baru Kampanye terstruktur model baru, mulai diterapkan untuk mengatasi persoalan Papua. Kita amati ada 4 komando yang dimainkan. Yaitu pada tingkatan diplomatik, militer, birokrasi, media.

Untuk tingkatan diplomatik aktor yang memimpin adalah presiden/wapres dan Menkopolhukam, yakni Joko Widodo, Jusuf Kalla, dan Luhut Panjaitan. Tugas yang diberikan juga berbeda, yakni Luhut ke wilayah Pasifik dan USA, Joko Widodo ke Eropa dan Jusuf Kalla ke negara-negara Islam.
Jualan yang dijual pada diplomatik adalah pendekatan ekonomi (Luhut Panjaitan) dan kaidah "Indonesia adalah negara Islam tersebesar yang demokratis"dan kontrak-kontrak ekonomi baru (Joko Widodo) serta solidaritas sesama negara Islam (Yusuf Kalla). Untuk tingkatan militer, yang maju adalah Polri yang dibekap oleh TNI.

Polri menggunakan metode baru pada 2 (dua) minggu terakhir ini, yakni menangkap pengantar undangan kegiatan demo, yang dialami oleh para aktivis KNPB. Sebuah hal yang sangat aneh, karena tidak pernah terjadi di seluruh Indonesia, kecuali di wilayah Papua. Bahkan dalam sebuah kejadian di Yahukimo, para pengantar undangan ini di suruh hormat bendera Merah Putih di bawah sinar matahari, makan tanah, dan dipukul dengan martil bangunan (5 kg?), agar keluar darah kotor dari kepala - "darah kotor karena mencintai negara Papua".

Yang aneh adalah kenapa para pengantar undangan demo dari KNPB ini tidak diproses di pengadilan dan dijatuhi hukuman subversif karena "separatis" dan kemudian dipenjara (bila perlu 15 tahun seperti Filip Karma), tetapi di pukul-pukul seperti binatang.

Apakah derajat kemanusiaan negara Indonesia sudah amat rendah sedemikian? Untuk tingkatan birokrasi, kebijakan anggaran mulai dimainkan. Mengkopulhukam pada 2 hari lalu (28/04/2016), setelah rapat dengan sejumlah menteri, mengatakan bahwa untuk (Tanah) Papua pada tahun ini, total anggaran yang akan diturunkan adalah sebesar RP. 106 Trilyun. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah dana ini akan tetap tinggal di (Tanah) Papua atau keluar dari tempat ini. Hal ini terbukti dengan adanya sebuah pemberitaan di tahun 2012, sesuai pengakuan dari Gubernur BI Cabang Jayapura, bahwa uang yang keluar dari Tanah Papua adalah sebesar Rp. 7 Trilyun/bulan.
Artinya, ketika tidak ada perubahan pada kebijakan moneter yang diterapkan di atas Tanah Papua, maka semua uang ini tidak ada artinya. Kita lihat betapa malangnya Papua dalam persoalan ekonomi-moneter. Sedang untuk ekonomi mikro, yakni pembangunan Pasar Mama-Mama Papua, dibutuhkan waktu 13 tahun.

Dikatakan ekonomi mikro, karena perputaran uang di pasar ini, paling banyak dalam sehari adalah 100 juta atau 36 milyar dalam satu tahun. Jika kita bicara pada tingkatan ekonomi makro di Tanah Papua, maka kita harus menyebut BP, Freeport, Sinar Mas, Lippo, Bukaka, dan lain sebagainya. Atau kita menyebut PT Modern, PT KUP, PT Pulmon, yang menguasai berbagai proyek hingga beratus milyar dalam 1 tahun. Orang Papua di mana, dalam permainan ekonomi makro ini? Dia berada di pinggir. Mereka yang tergabung dalam KAPP, ASPAP, dan lain sebagainya, harus mengamuk dahulu sebelum mendapat remah-remah sebagai sub kon dalam berbagai kerja APBN.

Selain berbagai hal ini, dana Rp. 106 Trilyun adalah dana yang juga "masih kurang", sebab Tanah Papua memberikan Rp. 121 T (PT Freeport) + 25 Trilyun (BP) alias Rp. 146 Trilyun/Tahun. Ini pun kita belum memasukan berbagai pajak hasil hutan, laut dan pariwisata, dan lain sebagainya.

Kita belum bicara cekungan baru di termukan pada 2 bulan lalu di Fakfak, yang mengandung gas sebesar 10 TFC, yang bisa memberikan pemasukan Rp. 500 T pada negara Indonesia. Atau juga, berbagai potensi lainnya, yakni dari jebakan minyak/gas yang tersebar di seluruh Tanah Papua, yakni sejumlah 22 jebakan (baru diolah 3). Ibaranya, dalam kasus Papua, Jakarta memberikan uang rp. 10.000,00 karena dia tahu, akan mendapat keuntungan RP. 1.000.000,00 atau bahkan RP. 10.000.0000,00.
Secara hitungan ekonomi, berbagai elit politisi Indonesia, yang juga sekaligus adalah pengusaha (bakrie, jusuf kalla, luhut panjaitan, yusuf wanandi, dll), paham akan hal ini. Karena itu, membaca angka Rp. 106 Trilyun ini, haruslah kita lakukan dengan kacamata ini.

Untuk tingkatan media, mulai dari dibentuknya page yang menjujung tinggi NKRI yang menyiarkan tema-tema kegiatan Papua yang direduksi agar "mencintai NKRI", pembuatan account tertentu di facebook, yang menggunakan nick name dan foto orang Papua, yang berisi "tema-tema mencintai NKRI", membentuk media online abal-abalan (palsu), yang menjual cerita retorikan kemajuan pembangunan Indonesia. Apa yang orang Papua lakukan? Mari tetap satukan langkah di bawah irama ULMWP dan berbagai lembaga yang membentuknya.

SHARE THIS

Facebook Comment

0 komentar: