Rabu, 11 Mei 2016

HUT Totamana: Pdt. Benny Giay Mengajak Masyarakat Bekerja Keras dan Mengutuk Budaya Malas

Ketua Sinode Kingmi Tanah Papua, Pdt. Benny Giay berkotbah dalam perayaan HUT Totamana 2016 di Lapangan Bola Tadouto, Senin (09/05). Foto: Tigi Barat Humas.
Manokwari, Majalah Beko - - Ketua Sinode Kingmi Tanah Papua, Pdt. Benny Giay mengajak masyarakat suku Mee bekerja keras sesuai ajaran Totamana dan mengutuk budaya malas.
Menurut Giay, Totamana yang merupakan warisan kerja keras yang dicanangkan leluhur suku Mee, seperti Wodeyokaipouga Bobii sejak tahun 1920 itu mulai hilang kini akibat perkembangan zaman.
“Sikap kerja sama menjadi landasan hidup dalam menghidupkan firman yang hidup dalam kehidupan manusia kuno sudah mulai hilang. Apalagi zaman sekarang, berbicara saja gampang diucapkan, akan tetapi sulit dipraktekkan. Apalagi, masyarakat masa kini lebih memilih bepergian ke kota ketimbang tinggal di kampung untuk bekerja. Selama ini, kebanyakan meninggalkan keluarga dan dengan berbagai alasan,” ungkapnya di hadapan ribuan masyarakat dalam kotbah perayaan HUT Totamana 2016 di Lapangan Bola Tadauto, Distrik Tigi Barat, Kabupaten Deiyai, Senin (09/05).
Oleh karena itu, Giay mengajak para pemimpin gereja kini menghidupkan budaya kerja keras.
“Para pemimpin gereja jangan hanya berkotbah di gereja saja, tetapi dibarengi dengan kerja keras untuk menghidupkan budaya kerja. Harus meneladani tokoh Wodeyokaipouga sebagai pewaris Owaadaa. Oleh sebab itu, untuk mewariskan budaya kerja sama, harus kuburkan budaya pemalas dan hidup ketergantungan kepada orang lain,” ajaknya.

Tatomana menurut Giay, ada dalam Owaadaa atau kebun rumah yang dipagari oleh pagar lingkungan hidup.
Selain mengajak para pemimpin gereja bekerja keras, Giyai mengajak masyarakat untuk membangkitkan budaya kerja keras demi membangun Papua baru di tanah ini dan mengutuk budaya malas.
“Hanya merayakan ulang tahun tanpa kerja keras juga sama saja. Sebaiknya, di tahun depan tidak dilaksanakan bila tidak dibarengi dengan kerja keras atau menyekolahkan anak-anak. Sebab, di masa depan, dunia ini akan di bangun oleh mereka yang pintar, melalui pendidikan, bisa berbahasa dengan orang lain, baik dengan orang Belanda atau dengan bangsa lain,” ajaknya pula.
Membangun Papua baru menurut Giay, dimulai melalui pembangunan bertahap dari diri sendiri, keluarga, dan kampung.
“Di tanah Tadauto, Debey, Deiyai, Papua secara umum mengutuk budaya malas dan membangkitkan budaya kerja untuk membangun Papua baru di tanah ini. Membangun Papua baru harus dimulai dari daerah Debey, di mana hari ini sebagai tolak ukur membangun daerah Meeuwodide atas dasar kerja keras yang dibangun oleh tokoh Wodeyokaipouga dan mendorong manusia suku Mee agar membangkitkan daya kerja keras yang dibangun semenjak tahun 1920 kala itu. Membangun harus dimulai dari diri dan keluarga. Untuk membangun beberapa bidang yang dibangun oleh tokoh Wodeyokaipouga, tidak bisa dikerjakan semua secara bersama. Namun, harus dikerjakan satu per satu. Sebab, manusia kita sekarang berbeda dengan manusia masa lalu,” bebernya.
Giay juga menekankan, semua hamba Tuhan yang memimpin denominasi-denominasi gereja di tanah Papua mendorong semua jemaat untuk lebih pro aktif dalam membangun keluarga dan kampung menuju pembangunan seutuhnya.
Selain itu, Pendeta Giyai meminta Pemerintah Daerah (Pemda) Deiyai membuat peraturan daerah (perda) dan mencanangkan 9 Mei sebagai Hari Kebangkitan Totamana.
Sementara, ajakan Pdt. Benny Giay untuk bekerja keras sesuai ajaran Totamana disampaikan juga oleh Wakil Bupati Deiyai, Agustinus Pigome dalam sambutan tunggalnya.
“Di masa kini dituntut agar semua keluarga arahkan, menyekolahkan anak-anaknya, sebab di masa depan yang tengah mengalami perubahan ini. Orang berpendidikan akan merubah dirinya dan daerahnya. Jika tidak bersekolah, akan menjadi penonton setia di atas bergulirnya kemajuan yang sangat signifikan ini,” katanya.
Dalam penyampaiannya itu, Pigome mencontohkan Buku “Wodeyokaipouga Nabi Yang Terlupakan” karya Fransiskus Ign. Bobii yang diluncurkan bersamaan dengan HUT Totamana ini.
“Buku ini adalah bukti dan hasil karya orang yang bersekolah,” terangnya.
Pigome juga meminta masyarakat tidak meninggalkan kampung dan melanjutkan amanat Totamana, yakni bekerja keras dan membangun Owaadaa di setiap keluarga. Sebab, menurut Pigome, dalam Owaadaa terdapat Totamana sebagai pandangan hidup bersama.

(AP)


SHARE THIS

Facebook Comment

0 komentar: