Perayaan 1 Desember 2016 (Foto doc KNPB) |
Kilas Balik Sejarah Papua Dalam rangka Perayaan 55 Tahun Hari Manivesto Politik 1 Desmber 2016
Penemuan Pulau
Papua dan Pemberian Nama pada, abad ke 14 pedagang China menamai pulau Papua dengan nama TUNG-KI atau JANGGI diperkenalkan oleh Pedagang China kepada
Kerajaan Sriwijaya di Sumatra, Indonesia
pada tahun 1365,
Raja Majapahit membangun jalur-jalur perdagangan dan
dapat memberikan dua bagian wilayah orang Papua yaitu, ONIN dan SERAN dengan maksud untuk mudah control dari Jawa. Disamping
itu kerajaan Islam pertama didirikan di WAIGAMA Kepulauan Misol pada tahun 1350, sebagai jalur
perdagangan dengan Arab.
Padas tahun
1511 Papua telah dikunjungi oleh Antonio 'd Abreu, dan menamai pulau Papua dengan nama 'Ilha
de Papoia'. Kemudian diikuti oleh Radriguez dalam
tahun 1517.
Pada tahun 1521 Antonio Pigafetta seorang pemenang navigator laut dalam perjalanan jauh dapat nformasi bahwa ada Raja yang namanya RAJA PAPUA, yang
sangat berkasa serta kaya dengan emas dan hidup di dalam Pulau itu
pada tanggal 20
Juni di tahun 1545 pulau
Papua di kunjungi oleh ”Ynigo Ordize de orng Spanyol datang
mencari rempah-rempah,
dari ternate menuju Meksiko melalui jalur Pasific dan singgah di Muarah sungai
Mamberamo dan menamainya dengan nama Nova Guinea. Nama
ini berdasarkan hasil temuan Ynigo, atas ciri-ciri fisik dan rumpun bangsa
Papua yang ada kesamaannya dengan orang-orang di Guinea, benua Africa. Resource:
Encylopaedie van Nederlandsch Indie
Kemudian setelah Belanda mulai menguasai Papua dari
tahun 1908, nama Papua diplot lagi
menjadi West Nederlands New Guinea di bagian Barat (dibawah
kekuasaan Belanda) dan Papua New Guinea di bagian Timur dibawah
kekuasaan Inggris.
pada tanggal 24 Agustus 1828, Pemerintah
Belanda telah memproklamasikan bahwa Papua adalah teritorial colony-nya, dan
mulai membangun pos perdagangan di Manokwari. Nama pos tersebut adalah ” Fort
du Bus”.
Kehadiran Belanda di Papua Barat
Setelah Pelayanan Missionaris Jerman (Ottow dan
Geissler), Belanda telah membagun perluasan pos-pos perdagangan di Papua.
Dengan demikian Belanda benar-benar menguasai bagian Barat pulau New Guinea.
Dalam tahun 1898 Parlemen Belanda membagi Papua Barat,
yang mana merupakan dibawah control Garesidenan Maluku kedalam dua bagian
distrik dengan menamainya menjadi New Guinea Utara (North Coast) dan New
Guinea Selatan (West & South Coast).
Pos perdagangan yang telah dibuka di Manokwari dalam tahun 1894 dapat dirobah menjadi pos Pemerintahan dalam tahun
1901 untuk afdeling New Guinea Utara, pos lainya di Fakfak untuk Updeling New
Guinea Selatan.
Dalam tahun 1902, New Guinea Selatan di bagi lagi menjadi dua bagian
yaitu, Updeling New Guinea Barat (Fakfak) dan Updeling New Guinea Selatan
(Merauke). Karena Belanda membagi Papua Barat sedemikian, maka Hak Tidore
menuntut pembayaran kompensasi kepada Sultan Tidore senilai f 6.000.
Dalam tahun 1903, Pemerintah Kerajaan Belanda telah
mulai melakukan kolonisasi di wilayah Papua Barat. Pertama, melalui pengiriman
orang-orang Jawa ke Merauke untuk menetap disana.
Dalam tahun 1904, Pemerintah Hindia
Belanda telah melakukan kontak hubungan teritorial dengan penelitian di Papua
Barat dan menyimpulkan bahwa hubungan antara Sultan Tidore dan Papua Barat
merupakan sebatas teoritikal
Mengikuti isu Partai Komunis Indonesia di Jawa dan
Sumatra dalam tahun 1926/1927, Pemerintah Hindia Belanda dari komplitkasi 1.308
dengan 823 keluarga telah di penjarakan dan telah dikirim oleh Gubernur de
Groeff ke Camp, Penjara Digoel di Tanah Merah dekat Merauke.
Pada tanggal 28 October tahun 1928, di Batavia
Organisasi Pemuda Indonesia telah dapat melakukan sebua ikrat yang disebut
”Sumpah Pemuda Indonesia”
Dalam Sumpah Pemuda Indonesia ini, yang termasuk
Indonesia adalah: Jong Java, Jong Sumatra, Jong Celebes, Jong Ambon, dan lain
pulaunya. Papua tidak termasuk dalam Sumpah Pemuda Indonesia, maka secara otomatis Papua tersendiri dari
Indonesia atau bukan Indonesia. Fakta ini membuktikan bahwa orang Papua tidak
memiliki hubungan sama sekali dengan orang Indonesia.
Dalam tahun 1931, Belanda mulai melakukan explorasi
Minyak di Papua Barat yang sama,
dalam laporannya oleh wakil Kerajaan Belanda untuk Maluku ditujukkan kepada
Pemerintah di Batavia bahwa orang-orang pribumi Papua Barat bukan bagian dari
TIDORE, dan berkonfirmasi kepada wakil Kerajaan Belanda di Maluku bahwa haya
Raja Ampat, Onim dan Kaimana, klaim Tidore atas Papua Barat tidak
terbukti.
Dalam tahun 1935, Pemerintah Jepang mulai melakukan
aktivitas Intelejen pada pra Perang Dunia ke II di Papua Barat, melalui agen
perusahaan komersial. Nama Perusahaan dimaksud adalah ” Nanyo Kahatsu Kabushiki
Koisha” di Manokwari.
Pada tanggal 09 Maret 1942, Papua Barat telah di
invasi dan pala Tentara Jepang memulai melakuka Perang Dunia II di territorial
ini. Jepang telah melakuka pendudukan selama dua tahun di Papua Barat.
Pada tanggal 30 July 1944, tentara sekutu
Komando Gen. MacArthur menyerang pala
tentara jepang dengan penuh kekuatan di Sausapor, Werur, Amsterdam dan Pulau
Middleburg dan sekaligus mengakhiri pendudukan Jepang di Papua Barat
- Dalam
Konferensi Internasional di San Fransisko pada tanggal 25 April 1945, yang di
hadiri 200 delegasi dari 50 Negara telah membuat pernyataan dan melengkapi
Badan Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Disana telah memberikan kewenangan
khusus kepada lima Negara Anggota PBB, sebagai pemekang Hak Veto. Negara-Negara
yang dimaksud adalah: Amerika Serikat, Kerajaan Inggris, Russia, Francis dan
China.
- Pada tanggal
26 Juni 1945, Presiden Truman membuat pembicaraan tertutup di San Fransisko,
dan mengirim hasil pernyataan yang telah ditetapkan pada tanggal 25 April 1945
di atas kepada Senat Amerika Serikat sekali.
Pada
tanggal 28 Juli 1945, Senat Amerika telah dapat meratifikasi pernyataan dengan
89 suara. Satu pemahaman bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa membagun dasar
hubungan persahabatan antar Bangsa-Bangsa dengan respek untuk prinsip yang
mendasar atas Hak-Hak yang sama dan Penentuan Nasib Sendiri, terlebih khusus
kondisi Negara dalam article 73 (a) and (b) pada pernyataan ini.
- Bagian ini
adalah menjadi landasan Hukum Positif bagi perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia
di muka bumi, yang mana merupakan tanggung jawab Individu serta lembaga-lembaga
swasta dan terutama Pemerintah dalam Negara.
- Berhubungan
dengan article 73 (a) dan (b) dalam Konferensi tanggal 25 April 1945, Majelis
Umum PBB memita kepada Negara-Negara agar segera keluar dari teritorial
Colonial dalam tahun 1946. Permintaan Majelis Umum PBB ini terutama kepada 8
Negara anggota PBB seperti, ” (Australia, Belgium,
Denmark, The Netherlands, New Zealand, UK and the USA)” untuk menjadi Hakim dan
contoh bagi Negara-Negara Colonial lain.
(72) daerah jajahan harus keluar dari penjajahan dan diberikan
kemerdekaan penuh, sesuai Deklarasi PBB atas wilayah-wilayah tak
berpemerintahan, termasuk Papua Barat, yang mana masih dalam de-colonisasi. Hal
ini atas hasil, adopsi resolusi 66 (1) Majelis Umum PBB (UNGA) tertanggal 14 Desember 1946 berdasarkan daftar
de-colonisasi PBB.
- Berdasarkan
resolusi Majelis Umum PBB di atas, maka Pemerintah Belanda telah dapat
melaksanakan persiapan Negara Papua. Hal ini telah dapat terbukti dari upacara
perdana, bersama antara Pemerintah Belanda dan wakil-wakil bangsa Papua yang
berdomisili di bagian Barat pulau New Guinea pada tanggal 1 Desember 1961.
- Berdasarkan
Resolusi A/RES/1514 (XV) Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal
14 December 1960 Pemerintah Belanda
berkewajiban dan bertanggung jawab atas Hak Menetukan Nasib Sendiri bagi Bangsa
Papua yang berdomisili di bagian Barat pulau New Guinea. Dalam hal ini, Belanda
berniat baik untuk memberikan Kemerdekaan penuh bagi Bangsa Papua, di bagian
Barat Pulau New Guinea, namun niat baik Pemerintah Belanda ini telah digagalkan
oleh kepentingan imperalisme Amerika dan kolonial Indonesia.
- Majelis Umum
PBB mempertegaskan kepada Negara-Negara Anggota PBB, agar wajib melaksanakan
semua keputusan dan penetapan melalui Deklrasi-Deklarasi atau pun
Kovenan-Kovenan Internasional serta Konvensi-Konvensi Internasional;
- Hal ini
termasuk Hak Menentukan Nasib Sendiri, sebagaimana dapat di jelaskan sesuai
resolusi 1514 (XV) Majelis Umum PBB tentang De-Colonisasi, juga telah
ditetapkan pada Kovenan Internasional atas Hak-Hak Sivil dan Politik dalam
Article 1 Paragraph 1, 2, dan Paragraph 3, yang telah disetujui bersama dalam
Sidang Majelis Umum PBB pada tanggal 16 Desember 1966;
- Semua Dasar
Hukum bagi
bangsa Papua di bagian Barat Pulau New Guinea
mempunyai Hak untuk Menentukan Nasib Sendiri. Hak ini belum terlaksan sesuai
mekanisme PBB dalam penjelesaian Konflik atau wilayah Jajahan tanpa
berpemrintahan, maka Hak Menentukan Nasib sendiri bagi Rakyat Bangsa Papua
masih dan akan berlaku.
Persiapan Kemerdekaan Papua Barat
Hak
Menentukan Nasib sendiri bagi wilayah-wilayah tak berpemerintahan, sesuai deklarasi-deklarasi serta perjanjian
Internasional dan
sesuai Resolusi 1514 (XV) Majelis Umum PBB.
Belanda
telah mempersiapkan dengan matang atas berdirinya sebuah Negara, Bagaimana cara
Papua Barat dipersiapkan untuk menjadi sebuah Negara, oleh Pemerintah Belanda?
Pertama, pembentukan Komite Nasional, Bendera dan Lagu
Kebangsaan. Pada tanggal 26 September 1961, Menteri Luar Negeri Belanda (Luns)
berpidato di PBB bahwa Internasionalisasi Papua Belanda harus cepat. Pada
tanggal 19 Octobert 1961, sejumlah Tokoh Papua mengadakan pertemuan. Agenda
utama adalah pembentukan Dewan Papua (New Guinea Raad) tahun 1961. Pada
tanggal 5 April 1961, Pembukaan Dewan Papua dilakukan oleh Menteri Toxopeus
yang di damping oleh Bot.
Kedua, perdebatan telah mulai di dalam Sidang Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam Sidang Majelis Umum PBB di tahun 1960,
Soebandrio datang dengan catatan menyindir tentang lemari Negara Boneka Papua.
Hal itu tidak di terima dengan baik oleh orang-orang Papua.
Ketiga, Pada tanggal 21 Octobert 1961, Rapat pertama. Agenda
utama dalam rapat ini adalah Pemilihan dan penetapan Lambang-Lambang, yang akan
harus menunjukkan jati diri Negara dan bangsa Papua Belanda.
Ketika Papua Barat
masih menjadi daerah sengketa akibat perebutan wilayah itu antara Indonesia dan
Belanda, tuntutan rakyat Papua Barat untuk merdeka sebagai negara merdeka sudah
ada jauh sebelum kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.[i]
Memasuki tahun 1960-an para politisi dan negarawan Papua Barat yang terdidik
lewat sekolah Polisi dan sebuah sekolah Pamongpraja (Bestuurschool)[ii]
di Jayapura (Hollandia), dengan mendidik 400 orang antara tahun 1944-1949
mempersiapkan kemerdekaan Papua Barat.
Selanjutnya atas
desakan para politisi dan negarawan Papua Barat yang terdidik, maka pemerintah
Belanda membentuk Nieuw Guinea Raad (Dewan Nieuw Guinea). Beberapa
tokoh-tokoh terdidik yang masuk dalam Dewan ini adalah M.W. Kaisiepo dan Mofu
(Kepulauan Chouten/Teluk Cenderawasih), Nicolaus Youwe (Hollandia), P. Torey
(Ransiki/Manokwari), A.K. Gebze (Merauke), M.B. Ramandey (Waropen), A.S. Onim
(Teminabuan), N. Tanggahma (Fakfak), F. Poana (Mimika), Abdullah Arfan (Raja
Ampat). Kemudian wakil-wakil dari keturunan Indo-Belanda adalah O de Rijke
(mewakili Hollandia) dan H.F.W. Gosewisch (mewakili Manokwari isinya:
MANIVETO POLITIK PAPUA
BARAT
1.
Menetukan nama
Negara : Papua Barat
2.
Menentukan lagu
kebangsaan : Hai Tanahku Papua
3.
Menentukan
bendera Negara : Bintang Kejora
4.
Menentukan bahwa
bendera Bintang Kejora akan dikibarkan pada 1 November 1961.
Lambang Negara Papua
Barat adalah Burung Mambruk dengan semboyan “One People One Soul”.
Rencana pengibaran
bendera Bintang Kejora tanggal 1 November 1961 tidak jadi dilaksanakan karena
belum mendapat persetujuan dari Pemerintah Belanda. Tetapi setelah persetujuan
dari Komite Nasional, maka Bendera Bintang Kejora dikibarkan pada 1 Desember
1961 di Hollandia, sekaligus “Deklarasi manivesto Politik Papua Barat”. Bendera Bintang Fajar dikibarkan
di samping bendera Belanda, dan lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua” dinyanyikan
setelah lagu kebangsaan Belanda. Deklarasi Manivesto Papua Barat ini disiarkan
oleh Radio Belanda dan Australia.
Hubungan Sejarah
Indonesia dan Papua Barat
pencaplokan Papua Barat
oleh Indonesia sebagai bagian dari wilayah negaranya didasarkan atas alasan
sejarah. Dalam rangka untuk menggali hubungan sejarah antara Indonesia dan
Papua Barat, maka beberapa hal perlu dikemukakan. Pertama, sejarah hidup Indonesia
dan Papua Barat. Kedua, sejarah perjuangan Indonesia dan Papua Barat dalam
mengusir penjajah. Ketiga, alasan pencaplokan Papua Barat oleh Indonesia.
Sejarah Hidup Indonesia
dan Papua Barat
Dalam sejarah hidup,
rakyat Papua Barat telah menunjukkan bahwa mereka mampu untuk mengatur hidupnya
sendiri. Hal itu terlihat dari kepemimpinan setiap suku, yang telah mendiami
Papua Barat sejak lebih dari 50.000 tahun silam, dipimpin oleh kepala-kepala
suku (tribal leaders). Untuk beberapa daerah, setiap kepala suku dipilih
secara demokratis sedangkan di beberapa daerah lainnya kepala suku diangkat
secara turun-temurun. Hingga kini masih terdapat tatanan pemerintahan
tradisional di beberapa daerah, sebagai contoh: seorang Ondofolo masih memiliki
kekuasaan tertentu di daerah Sentani dan Ondoafi masih disegani oleh masyarakat
sekitar Yotefa di Numbay.
Selain kemampuan untuk
mengatur dirinya sendiri (tidak dipengaruhi oleh pihak asing), juga sangat
nyata di depan mata bahwa antara Papua Barat dan Indonesia mempunyai perbedaan
yang sangat jauh. Bangsa Papua adalah ras Negroid sedangkan bangsa Indonesia
pada umumnya adalah ras Mongoloid.
Dengan perbedaan ras
ini menimbulkan perbedaan yang lainnya, entah perbedaan fisik maupun mental,
dan kedua bangsa ini sama sekali tidak pernah mempunyai hubungan apapun dalam
sejarah kehidupan di masa silam. Masing-masing hidup sebagai bangsanya sendiri
dengan karakteristiknya yang berlainan pula. Sehingga tindakan pencaplokan
Papua Barat oleh Indonesia ini dianggap tindakan menjajah.
Dalam kehidupan
sehariannya, moyang kami tidak pernah melihat asap api kebun Indonesia apabila
mereka berkebun. Moyang kami tidak pernah bercerita kepada kami bahwa kami
punya dendam perang dengan keturunan Soekarno dan soeharto dan moyang bangsa
Indonesia. Kami bangsa Papua tahu dan sadar akan diri kami bahwa kami berbeda
dengan bangsa Indonesia. …Bangsa Papua termasuk ras Negroid mendiami kepulauan
Melanesia di Pasifik selatan, karena
bangsa Papua berbeda dengan bangsa Indonesia lainnya.
Dari gambaran di atas,
sangatlah jelas, bahwa antara Indonesia dan Papua Barat sama sekali tidak
mempunyai hubungan sejarah hidup yang sama yang bisa menyatukan kedua bangsa
dalam satu negara yang bernama Indonesia.
Hubungan Sejarah
Perjuangan Indonesia dan Papua Barat
Indonesia (Sabang
sampai Amboina) dijajah oleh Belanda selama 350 tahun, sedangkan Papua Barat
(Nederland Nieuw-Guinea) dijajah oleh Belanda selama 64 tahun. Walaupun Papua
Barat dan Indonesia sama-sama merupakan jajahan Belanda, namun administrasi
pemerintahan Papua Barat diurus secara terpisah. Indonesia dijajah oleh Belanda
yang kekuasaan kolonialnya dikendalikan dari Batavia (sekarang Jakarta),
kekuasaan Batavia inilah yang telah menjalankan penjajahan Belanda atas
Indonesia, yaitu mulai dari Sabang sampai Amboina.
Kekuasaan Belanda di
Papua Barat dikendalikan dari Hollandia (sekarang Port Numbay), dengan batas
kekuasaan mulai dari Kepulauan Raja Ampat sampai Merauke.
Tahun 1908 Indonesia
masuk dalam tahap Kebangkitan Nasional (perjuangan otak) yang ditandai dengan
berdirinya berbagai organisasi perjuangan. Dalam babak perjuangan baru ini
banyak organisasi politik-ekonomi yang berdiri di Indonesia, misalnya Boedi
Utomo (20 Mei 1908), Serikat Islam (1911), Indische Partij (1912), Partai
Komunis Indonesia (1913), Perhimpunan Indonesia (1908), Studie Club (1924) dan
lainnya. Dalam babakan perjuangan ini, terutama dalam berdirinya
organisasi-organisasi perjuangan ini, rakyat Papua Barat sama sekali tidak
terlibat atau dilibatkan. Hal ini dikarenakan
musuh yang dihadapi waktu itu, yaitu Belanda adalah musuh bangsa
Indonesia sendiri, bukan musuh bersama dengan bangsa Papua Barat. Rakyat Papua
Barat berasumsi bahwa mereka sama sekali tidak mempunyai musuh yang bersama
dengan rakyat Indonesia, karena Belanda adalah musuhnya masing-masing.
Rakyat Papua Barat juga
tidak mengambil bagian dalam Sumpah Pemuda Indonesia tanggal 28 Oktober 1928.
Dalam Sumpah Pemuda ini banyak pemuda di seluruh Indonesia seperti Jong Sumatra
Bond, Jong Java, Jong Celebes, Jong Amboina, dan lainnya hadir untuk menyatakan
kebulatan tekad sebagai satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air. Tetapi
tidak pernah satu pemuda dari Papua
Barat yang hadir dalam Sumpah Pemuda tersebut. Karena itu, rakyat Papua Barat
tidak pernah mengakui satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air yang namanya
“Indonesia” itu.
Dalam perjuangan
mendekati saat-saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tidak ada orang Papua
Barat yang terlibat atau menyatakan sikap untuk mempersiapkan kemerdekaan
Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Tentang tidak ada
sangkut-pautnya Papua Barat dalam kemerdekaan Indonesia dinyatakan oleh
Mohammad Hatta dalam pertemuan antara wakil-wakil Indonesia dan penguasa perang
Jepang di Saigon Vietnam, tanggal 12Agustus 1945. Saat itu Mohammad Hatta
menegaskan bahwa “…bangsa Papua adalah ras Negroid, bangsa Melanesia,
maka biarlah bangsa Papua menentukan
nasibnya sendiri…”. Sementara Soekarno mengemukakan bahwa bangsa Papua
masih primitif sehingga tidak perlu dikaitkan dengan kemerdekaan bangsa
Indonesia. Hal yang sama pernah dikemukakan Hatta dalam salah satu persidangan
BPUPKI bulan Juli 1945.
Ketika Indonesia
diproklamasikan, daerah Indonesia yang masuk dalam proklamasi tersebut adalah
Indonesia yang masuk dalam kekuasaan Hindia Belanda, yaitu “Dari Sabang Sampai
Amboina”, tidak termasuk kekuasaan Nederland Nieuw-Guinea (Papua Barat.
Tanggal 19 Agustus 1945
(dua hari setelah kemerdekaan Indonesia) Indonesia dibagi dalam delapan buah
Propinsi. Salah satu Propinsinya adalah Maluku. Banyak kalangan berasumsi bahwa
wilayah Papua Barat masuk dalam wilayah Propinsi Maluku. pada tanggal 14
Desember 1953 Soekarno menugaskan orang mengadakan
penelitian mengenai daerah Indonesia yang bisa dijadikan sebagai jembatan untuk
merebut Irian Barat dari tangan Belanda. Dari hasil penelitian itu, ternyata
pilihan jatuh pada wilayah Maluku Utara. Maka dengan lahirnya UU No. 15 Tahun
1956 tentang pembentukan Propinsi Irian Barat, Soasiu ditetapkan sebagai
ibukota Propinsi Irian Barat dengan Gubernur Zainal Abidin Syah (Sultan Tidore)
yang dikukuhkan pada 17 Agustus 1956 bersamaan dengan Peresmian Propinsi Irian
Barat Perjuangan.[iii]
Setelah peresmian
Propinsi Irian Barat perjuangan, Papua Barat tetap menjadi daerah sengketa
antara Indonesia dan Belanda. Beberapa persitiwa politik dalam memperebutkan
Papua Barat oleh kedua bela pihak adalah:
a.
Sebelum
penandatangan Perjanjian Lingggarjati pemerintah Belanda pernah menyatakan agar
Papua Barat dapat menerima status sendiri terhadap Kerajaan Belanda dan Negara
Indonesia Serikat menurut jiwa pasal 3 dan 4 Perjanjian tersebut. Jadi di sini
Belanda mengadakan pengecualian bagi Papua Barat agar kedudukan hukum wilayah
tersebut tidak ditentukan oleh Perjanjian Linggarjati.[iv]
b.
Dalam
Konferensi Meja Bundar yang dilaksanakan di Den Haag Belanda tanggal 23
Agustus-2 November 1945 disepakati bahwa mengenai status quo wilayah
Nieuw Guinea tetap berlaku seraya ditentukan bahwa dalam waktu setahun sesudah
tanggal penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat, masalah
kedudukan-kenegaraan Papua Barat akan diselesaikan dengan jalan perundingan
antara Republik Indonesia Serikat dan Kerajaan Belanda.[v]
Tetapi dalam kesempatan yang sama pula status Papua Barat (Nederland Niew
Guinea) secara eksplesit dinyatakan oleh Mohammad Hatta, Ketua Delegasi
Indonesia, bahwa “…masalah Irian Barat tidak perlu dipersoalkan karena
bangsa Papua berhak menjadi bangsa yang merdeka.”[vi]
c.
Dalam
konferensi para menteri antara Belanda dan Indonesia yang dilaksanakan di
Jakarta pada tanggal 25 Maret-1 April dibentuk sebuah panitia gabungan dengan
surat Keputusan Para Menteri Uni Indonesia-Nederland No. MCI/C II/1/G.T.
Berdasarkan keputusan tersebut, masing-masing pihak mengangkat tiga orang
anggota sebelum tanggal 15 April 1950 dengan tugas untuk menyelidiki status
Papua Barat secara ilmiah untuk menentukan apakah layak masuk dalam kekuasaan
Indonesia atau Nederland. Akhirnya, berdasarkan hasil penyedikan masing-masing
pihak tidak ada pihak yang mengalah, sehingga wilayah Papua Barat masih
dipertahankan oleh Belanda. Selanjutnya disepakati bahwa penyelesaikan masalah
Papua Barat akan diselesaikan kemudian oleh United Nations Commission for
Indonesia tanpa batas waktu yang ditentukan. [vii]
d.
Karena
dirasa wilayah Papua Barat dikuasai oleh Belanda, maka sejak tahun 1953 pihak
Indonesia membawa masalah Papua Barat ke forum internasional seperti
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Konferensi Asia Afrika.
Setelah
semua perjuangan masing-masing pihak mengalami jalan buntu, maka selanjutnya
wilayah Papua Barat menjadi daerah sengketa yang diperebutkan oleh Belanda dan
Indonesia. Indonesia dan Belanda sama-sama mempunyai ambisi politik yang besar
dalam merebut Papua Barat.
1.
Alasan Pencaplokan Papua Barat oleh Indonesia
Walaupun Papua Barat
telah mendeklarasikan diri sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, tetapi
kemerdekaan itu hanya berumur 19 hari, karena tanggal 19 Desember 1961 Presiden
Soekarno mengeluarkan Tri Komando Rakyat di Alun-alun Utara Yogyakarta yang
isinya:
1.
Gagalkan Pembentukan “Negara Boneka Papua”
buatan Belanda Kolonial
2.
Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat
Tanah Air Indonesia
3.
Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna
mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air dan Bangsa.
Realisasi dari isi Trikora ini, maka Presiden Soekarno
sebagai Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat mengeluarkan
Keputusan Presiden No. 1 Tahun 1962 yang memerintahkan kepada Panglima Komando
Mandala, Mayor Jendral Soeharto untuk melakukan operasi militer ke wilayah
Irian Barat untuk merebut wilayah itu dari tangan Belanda.
Mengapa Soekarno sangat
“keras kepala” dalam merebut wilayah Papua Barat untuk memasukannya ke dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia? Soekarno mempunyai empat alasan
utama dalam pencaplokan Papua Barat ke wilayah Indonesia.
- Klaim atas
Kekuasaan Majapahit
Kerajaan Majapahit
(1293-1520) lahir di Jawa Timur dan memperoleh kejayaannya di bawah raja Hayam
Wuruk Rajasanagara (1350-1389). Ensiklopedi-ensiklopedi di negeri Belanda
memuat ringkasan sejarah Majapahit, bahwa “batas kerajaan Majapahit pada jaman
Gajah Mada mencakup sebagian besar daerah Indonesia”. Sejarawan Indonesia
mengklaim bahwa batas wilayah Majapahit terbentang dari Madagaskar hingga ke
pulau Pas (Chili).
Hingga saat ini belum
ditemukan bukti-bukti sejarah berupa ceritera tertulis maupun lisan atau
benda-benda sejarah lainnya yang dapat digunakan sebagai bahan-bahan ilmiah
untuk membuat suatu analisa dengan definisi yang tepat bahwa Papua Barat pernah
merupakan bagian dari Kerajaan Majapahit. Mengklaim Papua Barat sebagai bagian
dari kerajaan Majapahit tentunya sangat meragukan, karena Soekarno tidak
memenuhi prinsip-prinsip membuat analisa dan definisi sejarah yang tepat,
khususnya sejarah tertulis.
Berkaitan dengan
kekuasaan wilayah kerajaan Majapahit di Indonesia, secara jelas dijelaskan
panjang lebar oleh Prof. Dr. Slamet Muljana, bahwa kekuasaan kerajaan
Majapahit, dalam Nagarakretagama pupuh 13 dan 14 disebutkan bahwa
kerajaan Majapahit mempunyai wilayah yang luas sekali, baik di kepulauan
Nusantara maupun di semenanjung Melayu. Pulau-pulau di sebelah timur pulau Jawa
yang paling jauh tersebut dalam pupuh 14/15 ialah deretan pulau Ambon
dan Maluku, Seram dan Timor; semenajung Melayu disebut nama-nama Langkasuka,
Kelantan, Tringgano, Paka, Muara Dingin, Tumasik, Klang, Kedah, Jerai.
Demikianlah, wilayah kerajaan Majapahit pada zaman Hayam Wuruk menurut Nagarakretagama
meluputi wilayah yang lebih luas dari pada Negara Republik Indonesia sekarang.
Hanya Irian yang tidak tersebut sebagai batas yang terjauh di sebelah timur.
Boleh dikatakan bahwa batas sebelah timur kerajaan Majapahit ialah kepulauan
Maluku.[viii]
Ini berarti Papua Barat tidak masuk dalam kekuasaan kerajaan Majapahit. Karena
itu sudah jelas bahwa Soekarno telah memanipulasikan sejarah.
- Klaim atas
Kekuasaan Tidore
Di dalam suatu
pernyataan yang di lakukan antara sultan Tidore dengan VOC pada tahun 1660,
secara sepihak sultan Tidore mengklaim bahwa kepulauan Papua atau pulau-pulau
yang termasuk di dalamnya merupakan daerah kesultanan Tidore.
Soekarno mengklaim
bahwa kesultanan Tidore merupakan “Indonesia Bagian Timur”, maka Papua Barat
merupakan bagian daripadanya. Di samping itu, Soekarno mengklaim bahwa raja-raja
di kepulauan Raja Ampat di daerah kepala burung, Papua Barat, pernah mengadakan
hubungan dengan sultan Tidore.
Apakah kedua klaim dari
sultan Tidore dan Soekarno dapat dibuktikan secara ilmiah? Gubernur kepulauan
Banda, Keyts melaporkan pada tahun 1678 bahwa dia tidak menemukan bukti adanya
kekuasaan Tidore di Papua Barat. Pada tahun 1679 Keyts menulis lagi bahwa
sultan Tidore tidak perlu dihiraukan di dalam hal Papua Barat.
Menurut laporan dari
kapten Thomas Forrest (1775) dan dari Gubernur Ternate (1778) terbukti bahwa
kekuasaan sultan Tidore di Papua Barat betul-betul tidak kelihatan.
Pada tanggal 27 Oktober
1814 dibuat sebuah kontrak antara sultan Ternate dan Tidore yang disaksikan
oleh residen Inggris, bahwa seluruh kepulauan Papua Barat dan distrik-distrik
Mansary, Karandefur, Ambarpura dan Umbarpon pada pesisir Papua Barat (daerah
sekitar Kepala Burung) akan dipertimbangkan kemudian sebagai milik sah sultan
Tidore.
Kontrak ini dibuat di
luar ketahuan dan keinginan rakyat Papua Barat. Berbagai penulis melaporkan,
bahwa yang diklaim oleh sultan Tidore dengan nama Papua adalah pulau Misol.
Bukan daratan Papua seluruhnya.
Ketika sultan Tidore
mengadakan perjalanan keliling ke Papua Barat pada bulan Maret 1949, rakyat
Papua Barat tidak menunjukkan keinginan mereka untuk menjadi bagian dari
kesultanan Tidore. Adanya raja-raja di Papua Barat bagian barat, sama sekali
tidak dapat dibuktikan dengan teori yang benar.
Lahirnya sebutan ‘Raja
Ampat’ berasal dari mitos. Raja Ampat berasal dari telur burung Maleo (ayam
hutan). Dari telur-telur itu lahirlah anak-anak manusia yang kemudian menjadi
raja.
Mitos ini memberikan
bukti, bahwa tidak pernah terdapat raja-raja di kepulauan Raja Ampat menurut
kenyataan yang sebenarnya. Rakyat Papua Barat pernah mengenal seorang pemimpin
armada laut asal Biak: Kurabesi, yang menurut F.C. Kamma, pernah mengadakan
penjelajahan sampai ke ujung barat Papua Barat. Kurabesi kemudian kawin dengan
putri sultan Tidore. Adanya armada Kurabesi dapat memberikan kesangsian
terhadap kehadiran kekuasaan asing di Papua Barat.
Pada tahun 1848
dilakukan suatu kontrak rahasia antara Pemerintah Hindia Belanda (Indonesia
jaman Belanda) dengan Sultan Tidore di mana pesisir barat-laut dan barat-daya
Papua Barat merupakan daerah teritorial kesultanan Tidore. Hal ini dilakukan
dengan harapan untuk mencegah digunakannya Papua Barat sebagai papan-loncat
penetrasi Inggris ke kepulauan Maluku. Di dalam hal ini Tidore sesungguhnya
hanya merupakan vassal proportion (hubungan antara seorang yang
menduduki tanah dengan janji memberikan pelayanan militer kepada tuan tanah)
terhadap kedaulatan kekuasaan
Belanda, tulis C.S.I.J.
Lagerberg. Sultan Tidore diberikan mandat oleh Pemerintah Hindia Belanda tahun
1861 untuk mengurus perjalanan hongi (hongi-tochten, di dalam bahasa Belanda).
Ketika itu banyak pelaut asal Biak yang berhongi (berlayar) sampai ke Tidore.
Menurut C.S.I.J. Lagerberg hongi asal Biak merupakan pembajakan laut, tapi
menurut bekas-bekas pelaut Biak, hongi ketika itu merupakan usaha menghalau
penjelajah asing. Pengejaran terhadap penjelajah asing itu dilakukan hingga ke
Tidore. Untuk menghadapi para penghalau dari Biak, sultan Tidore diberi mandat
oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Jadi, justru yang
terjadi ketika itu bukan suatu kekuasaan pemerintahan atas teritorial Papua
Barat. Setelah pada tahun 1880-an Jerman dan Inggris secara nyata menjajah
Papua New Guinea, maka Belanda juga secara nyata memulai penjajahannya di Papua
Barat pada tahun 1898 dengan membentuk dua bagian tertentu di dalam pemerintahan
otonomi (zelfbestuursgebied) Tidore, yaitu bagian utara dengan ibukota
Manokwari dan bagian selatan dengan ibukota Fakfak. Jadi, ketika itu daerah
pemerintahan Manokwari dan Fakfak berada di bawah keresidenan Tidore.
Mengenai manipulasi
sejarah berdasarkan kekuasaan Tidore atas wilayah Papua Barat ini, Dr. George
Junus Aditjondro menyatakan bahwa:
Kita mempertahankan
Papua Barat karena Papua Barat adalah bagian dari Hindia Belanda. Itu atas
dasar apa? Hanya karena kesultanan Tidore mengklaim bahwa dia menjajah Papua
Barat sampai teluk Yotefa mungkin? Maka kemudian, ketika Tidore ditaklukan oleh
Belanda, Belanda belum merasa otomatis mendapatkan hak atas penjajahan Tidore?
Belanda mundur, Indonesia punya hak atas semua eks-jajahan Tidore? Itu kan
suatu mitos. Sejak kapan berbagai daerah di Papua barat takluk kepada
Tidore?... Saya kira tidak. Yang ada adalah hubungan vertikal antara Tidore dan
Papua Barat, tidak ada kekuasaan Tidore untuk menaklukan Papua Barat. Atas
dasar itu, klaim bahwa Indonesia berhak atas seluruh Hindia Belanda dulu,
merupakan imajinasi.”[ix]
Dari uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa Soekarno telah terbukti memanipulasikan sejarah untuk
mencaplok Papua Barat. Karena wilayah Papua Barat tidak masuk dalam kekuasaan
Tidore.
- Klaim atas kekuasaan
Hindia Belanda
Secara historis
penjajahan, Papua Barat sesungguhnya bukan bagian dari Wilayah Republik
Indonesia, karena Papua Barat bukan bagian dari Hindia Belanda. Pada tanggal 24
agustus 1828 di Lobo, Teluk Triton Kaimana (pantai selatan Papua Barat)
diproklamasikan penguasaan Papua Barat oleh Sri Baginda Raja Nederland.
Sedangkan di Bogor, 19 Februari 1936 dalam Lembaran Negara Hindia Belanda
disepakati tentang pembagian daerah teritorial Hindia Belanda, yaitu sabang
sampai Amboina tidak termasuk Papua Barat (Nederland Neiw Guinea).[x]
Juga perlu diingat
bahwa walaupun Papua Barat dan Indonesia sama-sama merupakan jajahan Belanda,
namun administrasi pemerintahan Papua Barat diurus secara terpisah.[xi]
Indonesia dijajah oleh Belanda yang kekuasaan kolonialnya dikendalikan dari
Batavia (sekarang Jakarta), kekuasaan Batavia inilah yang telah menjalankan
penjajahan Belanda atas Indonesia, yaitu mulai dari Sabang sampai Amboina
(Hindia Belanda). Kekuasaan Belanda di Papua Barat dikendalikan dari Hollandia
(sekarang Port Numbay), dengan batas kekuasaan mulai dari Kepulauan Raja Ampat
sampai Merauke (Nederland Nieuw Guinea).[xii]
Selain itu saat
tertanam dan tercabutnya kaki penjajahan Belanda di Papua
Barat tidak bertepatan
waktu dengan yang terjadi di Indonesia.
Kurun waktunya berbeda, di mana Indonesia dijajah selama tiga setengah
abad sedangkan Papua Barat hanya 64 tahun (1898-1962). Tanggal 24 Agustus 1828,
ratu Belanda mengeluarkan pernyataan unilateral bahwa Papua Barat merupakan
daerah kekuasaan Belanda. Secara politik praktis, Belanda memulai penjajahannya
pada tahun 1898 dengan menanamkan pos pemerintahan pertama di Manokwari (untuk
daerah barat Papua Barat) dan di Fakfak (untuk daerah selatan Papua Barat.
Tahun 1902, pos pemerintahan lainnya dibuka di Merauke di mana daerah tersebut
terlepas dari lingkungan teritorial Fakfak. Tanggal 1 Oktober 1962 Belanda
menyerahkan Papua Barat ke dalam PBB.
Dari uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa Soekarno telah terbukti memanipulasikan sejarah untuk
mencaplok Papua Barat. Karena wilayah Papua Barat tidak masuk dalam kekuasaan
Hindia Belanda.
Menghalau
Pengaruh Imperialisme Barat di Asia Tenggara.
Soekarno mengancam akan
memohon dukungan dari pemerintah bekas Uni Sovyet untuk menganeksasi Papua
Barat jika pemerintah Belanda tidak bersedia menyerahkan Papua Barat ke tangan
Republik Indonesia. Pemerintah Amerika Serikat (AS) pada waktu itu sangat takut
akan jatuhnya negara Indonesia ke dalam Blok komunis. Soekarno dikenal oleh
dunia barat sebagai seorang Presiden yang sangat anti imperialisme barat dan
pro Blok Timur. Pemerintah Amerika Serikat ingin mencegah kemungkinan
terjadinya perang fisik antara Belanda dan Indonesia.
Maka Amerika Serikat
memaksa pemerintah Belanda untuk menyerahkan Papua Barat ke tangan Republik
Indonesia. Di samping menekan pemerintah Belanda, pemerintah AS berusaha
mendekati presiden Soekarno. Soekarno diundang untuk berkunjung ke Washington
(Amerika Serikat) pada tahun 1961. Tahun 1962 utusan pribadi Presiden John
Kennedy yaitu Jaksa Agung Robert Kennedy mengadakan kunjungan balasan ke
Indonesia untuk membuktikan keinginan Amerika Serikat tentang dukungan kepada
Soekarno di dalam usaha menganeksasi Papua Barat.
Untuk mengelabui mata
dunia, maka proses pengambil-alihan kekuasaan di Papua Barat dilakukan melalui
jalur hukum internasional secara sah dengan dimasukkannya masalah Papua Barat
ke dalam agenda Majelis Umum PBB pada tahun 1962. Dari dalam Majelis Umum PBB
dibuatlah Perjanjian New York 15 Agustus 1962 yang mengandung “Act of Free
Choice” (Pernyataan Bebas Memilih). Act of Free Choice kemudian
diterjemahkan oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai PEPERA (Pernyataan
Pendapat Rakyat) yang dilaksanakan pada tahun 1969.
2.
Proses Ilegal Pentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969
Penandatanganan New
York Agreement (Perjanjian New York) antara Indonesia dan Belanda yang disaksikan oleh Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa Bangsa, U Thant dan Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB,
Ellsworht Bunker pada tanggal 15 Agustus 1962. Beberapa hal pokok dalam
perjanjian serta penyimpangannya (kejanggalan) adalah sebagai berikut:
1.
New York Agreement (Perjanjin New York) adalah
suatu kesepakatan yang tidak sah, baik secara yuridis maupun moral.
Perjanjanjian New York itu membicarakan status tanah dan nasib bangsa Papua
Barat, namun di dalam prosesnya tidak pernah melibatkan wakil-wakil resmi
bangsa Papua Barat.
2.
Sejak
1 Mei 1963, bertepatan dengan Unites Nations Temporrary Executive
Administratins (UNTEA) atau Pemerintahan Sementara PBB di Papua Barat
menyerakan kekuasaanya kepada Indonesia, selanjutnya pemerintah Indonesia mulai
menempatkan pasukan militernya dalam jumlah besar di seluruh tanah Papua,
akibatnya hak-hak politik dan hak asasi manusia dilanggar secara brutal di luar
batas-batas kemanusiaan.
3.
Pasal
XVIII ayat (d) New York Agreement mengatur bahwa “The eligibility of
all adults, male and female, not foreign nationals to participate in the act of
self determination to be carried out in accordance whit international
practice…”. Aturan ini berarti penentuan nasib sendiri harus dilakukan oleh
setiap orang dewasa Papua pria dan wanita yang merupakan penduduk Papua pada
saat penandatanganan New York Agreement. Namun hal ini tidak
dilaksanakan. Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 dilaksanakan dengan cara lokal Indonesia, yaitu musyawarah
oleh 1025 orang dari total 600.000 orang dewasa laki-laki dan perempuan.
Sedangkan dari 1025 orang yang dipilih untuk memilih, hanya 175 orang saja yang
menyampaikan atau membaca teks yang telah disiapkan oleh pemerintah Indonesia.
Selain itu masyarakat Papua Barat yang ada di luar negeri, yang pada saat
penandatangan New York Agreement tidak diberi kesempatan untuk terlibat
dalam penentuan nasib sendiri itu.
4.
Teror,
intimidasi dan pembunuhan dilakukan oleh militer sebelum dan sesaat PEPERA 1969
untuk memenangkan PEPERA 1969 secara sepihak oleh pemerintah dan militer
Indonesia. Buktinya adalah Surat Rahasia Komandan Korem 172, Kolonel Blego
Soemarto, No.: r-24/1969, yang ditujukan kepada Bupati Merauke selaku anggota
Muspida kabupaten Merauke, isi surat tersebut:
“Apabila pada masa
poling tersebut diperlukan adanya penggantian anggota Demus (dewan musyawarah),
penggantiannya dilakukan jauh sebelum MUSAYAWARAH PEPERA. Apabila alasan-alasan
secara wajar untuk penggantian itu tidak diperoleh, sedang dilain pihak
dianggap mutlak bahwa anggota itu perlu diganti karena akan membahayakan
kemenangan PEPERA, harus berani mengambil cara yang ‘tidak wajar’ untuk
menyingkirkan anggota yang bersangkutan dari persidangan PEPERA sebelum
dimulainya sidang DEMUS PEPERA. …Sebagai kesimpulan dari surat saya ini adalah
bahwa PEPERA secara mutlak harus kita menangkan, baik secara wajar atau secara
‘tidak’ wajar.”[xv]
Mengingat bahwa wilayah
kerja komandan Korem 172 termasuk pula kabupaten-kabupaten lain di luar kabupaten
Merauke, maka patut diduga keras surat rahasia yang isinya kurang lebih sama
juga dikirimkan ke bupati-bupati yang lain.
Pada tahun 1967
Freeport-McMoRan (sebuah perusahaan Amerika Serikat) menandatangani Kontrak
Kerja dengan pemerintah Indonesia untuk membuka pertambangan tembaga dan emas
di Pegunungan Bintang, Papua Barat. Freeport memulai operasinya pada tahun
1971. Kontrak Kerja kedua ditandatangani pada tanggal 30 Desember 1991.
Kepentingan Amerika Serikat di Papua Barat, yang ditandai dengan adanya
penandatanganan Kontrak Kerja antara Freeport dengan pemerintah Republik
Indonesia, menjadi realitas. Ini terjadi dua tahun sebelum PEPERA 1969
dilaksanakan di Papua Barat. Di sini terjadi kejanggalan yuridis, karena Papua
Barat dari tahun 1962 hingga 1969 dapat dikategorikan sebagai daerah sengketa.
Penentuan Pendapat
Rakyat tahun 1969 tidak sah karena dilaksanakan dengan sistem “musyawarah”
(sistem local Indonesia) yang bertentangan dengan isi dan jiwa New York
Agreement, di samping itu PEPERA 1969 dimenangkan oleh Indonesia lewat terror,
intimidasi, penangkapan, dan pembunuhan (pelanggaran hukum, HAM dan esensi
demokrasi). Kemenangan PEPERA secara cacat hukum dan moral ini akhirnya
disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa lewat Resolusi Nomor 2509 dan diratifikasi
oleh Pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 7 tahun 1971.
Berikut ini adalah
jadwal pelaksanaan PEPERA, Jumlah wakil/utusan berdasarkan unsur, dan jumlah
wakil/utusan yang memberikan pendapat.
Jadwal
Pelaksanaan Pepera
14 Juli 1969 Merauke Anggota
DEMUS 175 jumlah penduduk 144.171
pada 16 Juli 1969 Jayawijaya 175
penduduk 165.000 pad 19 Juli 1969 Paniai demus 175 Penduduk
156.000, pada 23 Juli 1969 Fakfak
demus 75 penduduk 43.187 pada 26 Juli 1969 Sorong demus 110 penduduk 75.474
pada 29 Juli 1969 Manokwari demus 75 penduduk 89.875 pada 31 Juli 1969 Teluk
Cenderawasih demus 130 penduduk 83.000 pada 02 Agustus 1969 Jayapura demus 110
penduduk 81.246 J u m l a h anggota
demus 1.025 Jumlah penduduk 809.337 jiwa
Jumlah
Wakil/Utusan Berdasarkan Unsur
No
|
Unsur
|
Jumlah Wakil/Utusan
|
1
|
Kepala Suku/Adat
|
400 orang
|
2
|
Daerah (Gereja/Alim Ulama)
|
360 orang
|
3
|
Orpol/Ormas
|
265 orang
|
J u m l a h
|
1.025 orang
|
Jumlah Wakil/Utusan yang Memberikan
Pendapat
No
|
Kabupaten
|
Memberikan Pendapat
|
Jumlah Utusan
|
Sakit
|
1
|
Merauke
|
20
|
175
|
1
|
2
|
Jayawijaya
|
18
|
175
|
1
|
3
|
Paniai
|
28
|
175
|
-
|
4
|
Fakfak
|
17
|
75
|
-
|
5
|
Sorong
|
16
|
110
|
-
|
6
|
Manokwari
|
26
|
75
|
-
|
7
|
Teluk Cenderawasih
|
24
|
130
|
1
|
8
|
Jayapura
|
26
|
110
|
1
|
J u m l a h
|
175
|
1.025
|
4
|
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan dari di
atas, maka bangsa Papua mengetahui pasti bahwa Hak mereka telah dilanggar.
Dengan demikian, maka bangsa Papua di bagian Barat Pulau New Guinea telah dan
sedang berjuang dengan gigi, untuk memperoleh Hak dasarnya yaitu, HAK MENENTUKAN
NASIB SENDIRI (Self-Determination).
0 komentar: