HISTORICAL FLASHBACK OF WEST PAPUA
(Kilas Balik Sejarah Papua)
A. Penemuan
Pulau Papua dan Pemberian Nama
Menurut sejarah Kuno, pada masa-masa kerajaan,
bahwa Papua pernah dikunjungi oleh pedagang China pada abad ke 14, dan menamai
pulau Papua dengan nama TUNG-KI atau JANGGI.
Kemudian, Papua telah diperkenalkan oleh Pedagang China kepada Kerajaan
Sriwijaya di Sumatra, Indonesia pada abad ke 13 dan Kerajaan Majapahit di
Jawa Timur, Indonesia pada abad ke 14.
Menurut sejarah KUNO bahwa Papua
juga telah tercatat dalam Kitab Negara-Kertagama, dibawah kekuasaan Raja
Majapahit pada tahun 1365, dimana Raja Mpu Prapanca membangun jalur-jalur perdagangan
dan dapat memberikan dua bagian wilayah orang Papua yaitu, ONIN dan SERAN dengan maksud untuk mudah control dari
Jawa. Disamping itu kerajaan Islam pertama didirikan di WAIGAMA Kepulauan Misol pada tahun 1350, sebagai jalur
perdagangan dengan Arab. (Hubungan tidak tetap dan terbatas).
Selanjutnya, dalam tahun 1511
Papua telah dikunjungi oleh Antonio 'd Abreu, dan menamai pulau Papua dengan nama 'Ilha
de Papoia'. Kemudian
diikuti oleh Radriguez dalam tahun 1517.
Selanjutnya, dalam tahun 1521 Antonio Pigafetta seorang
Rekor Dunia atas Megallan’s Epic World atau seorang pemenang navigator laut
dalam perjalanan jauh telah menerima informasi tentang Papua, disamping memuat
rempah-rempah di Ternate bahwa ada Raja yang namanya RAJA PAPUA, yang sangat
berkasa serta kaya dengan emas dan hidup di dalam Pulau itu.
Selanjutnya, pada tanggal 20 Juni di
tahun 1545 pulau Papua di kunjungi
oleh ”Ynigo Ordize de Retes”, seorang pelaut berkebangsaan Spanyol pada,
saat dia mengelilingi dunia sambil mencari rempah-rempah, dari ternate menuju
Meksiko melalui jalur Pasific dan singgah di Muarah sungai Mamberamo dan
menamainya dengan nama Nova Guinea. Setelah Ynigo kembali ke Eropa,
membuat laporan atas penemuannya. Kemudian para Ilmuwan memplotnya dalam peta
Dunia, dan memberi nama Pulau Papua menjadi New Guinea pada tahun 1569.
Nama ini berdasarkan hasil temuan Ynigo, atas
ciri-ciri fisik dan rumpun bangsa Papua yang ada kesamaannya dengan orang-orang
di Guinea, benua Africa. Resource: Encylopaedie van Nederlandsch Indie (Tentang
Papua).
Selanjutnya, nama ini diplot lagi dalam peta Dunia menjadi dua
bagian, sesuai pembagian wilayah dari dua colony, yaitu Belanda dan Inggris.
Kemudian setelah Belanda mulai menguasai Papua dari tahun 1908, nama Papua
diplot lagi menjadi West Nederlands
New Guinea di bagian Barat (dibawah kekuasaan Belanda) dan Papua New Guinea
di bagian Timur dibawah kekuasaan Inggris.
Nama ini bertahan hingga tahun 1963, dimana
Belanda tinggalkan Papua Barat dan Indonesia mulai melakukan pendudukan di
Tanah bangsa Papua melalui INVASI MILITER besar-besaran, dengan jalan
membumi-hanguskan lingkungan hidup penduduk pribumi serta membunuh dan
menghilangkan paksa nyawa orang pribumi dari bangsa Papua, yang sebenarnya
melanggar Hak-Hak Asasi Manusia dari Bangsa Papua di bagian Barat Pulau
Papua.
Selanjutnya, hubungan politik dengan
Sultan Tidore resminya dalam tahun 1649 pada masa VOC (Dutch Indies
Company) atas pembagian laut Tidore. Untuk menghalau VOC, Sultan Jamaluddin
memintah bantuan kepada Mambri Kurabesi. Kurabesi adalah seorang pemimpin
perang yang terkenal dari pulau Waigeo, Papua. Kurabesi berangkat dengan 24
perahu perang, dibawah komandonya dan berhasil menghalau VOC.
Selanjutnya, pada tanggal 24 Agustus
1828, Pemerintah Belanda telah memproklamasikan bahwa Papua adalah teritorial
colony-nya, dan mulai membangun pos perdagangan di Manokwari. Nama pos tersebut
adalah ” Fort du Bus”.
Dengan Demikian, maka tidak ada hubungan
dengan Indonesia. Klaim Indonesia atas Papua adalah pembohongan. Mengapa? Karena fakta historisnya tidak terbukti. Yang
dimaksud adalah: Prasasti Hubungan Indonesia Melalui Penyebaran Agama Islam, yang
selalu Indonesia kobar-kobarkan, sama sekali tidak ada pembenaran.
Dari hasil temuan para ahli-ahli ilmuwan dunia
di atas, maka memberikan dukungan penuh bahwa Papua adalah Papua yang belum
pernah tersentu oleh siapapun manusia di Dunia, sebelum Ynigo Ordiz de Retes
dan Missionaris berkebangsaan Jerman (Ottow dan Geisler) datang di atas tanah
Bangsa Papua pada tanggal 5 February 1855.
Selengkapnya, silakan membaca buku-buku sejarah Papua yang telah
dubukukan oleh kaum intelek orang Papua benar dan bukunya Prof. Pieter J.
Drooglever dengan judul ”West Papua An Act of Free Choice”.
B. Kedatangan
Missionaris Eropa di Papua Barat
Pada tanggal 5 February 1855, dua orang
Missionaries, berkebangsaan Jerman (Ottow dan Geissler) menginjakkan kaki di Pulau Mansinam,
Manokwari-Papua, dan berkomitmen bekerja untuk melayani umat Tuhan di Tanah
Papua. Ottow dan Geissler, telah melakukan missi penginjilan di Papua dari
tahun 1855 sampai tahun 1894 (39 tahun). Kemudian mereka menutup pos
penginjilan di Papua, karena Belanda telah menguasai perdagangan di Papua. Dan
injil Kristus tetap dilanjutkan oleh orang-orang Papua Asli, yang telah
menerima Injil Kristus sebagai Juru Selamat sampai kini.
Pad tanggal 16 Mei 1895 Pemerintah
Kerajaan Belanda dan Pemerintah Kerajaan Inggris telah membagi Pulau Papua
menjadi dua bagian, dengan garis (Lat. 141ø 1' 47"), di Gravenhagen-Netherlands. Pembagian ini dengan memberikan
tanggung jawab masing-masing kepada kedua Negara yaitu, di Bagian Barat pulau New
Guinea kepada Pemerintah Belanda dan di bagian Timur pulau New Guinea diberikan
kepada Pemerintah Australia.
C. Kehadiran
Belanda di Papua Barat
Setelah Pelayanan Missionaris Jerman (Ottow
dan Geissler), Belanda telah membagun perluasan pos-pos perdagangan di
Papua. Dengan demikian Belanda benar-benar menguasai bagian Barat pulau New
Guinea.
Dalam tahun 1898 Parlemen Belanda
membagi Papua Barat, yang mana merupakan dibawah control juristisi Garesidenan
Maluku kedalam dua bagian distrik dengan menamainya menjadi New Guinea Utara (North
Coast) dan New Guinea Selatan (West & South Coast).
Pos perdagangan yang telah dibuka di Manokwari dalam
tahun 1894 dapat dirobah menjadi pos Pemerintahan
dalam tahun 1901 untuk afdeling New Guinea Utara, pos lainya di Fakfak untuk
Updeling New Guinea Selatan.
Dalam tahun 1902, New Guinea Selatan di bagi lagi
menjadi dua bagian yaitu, Updeling New Guinea Barat (Fakfak) dan Updeling New
Guinea Selatan (Merauke). Karena Belanda membagi Papua Barat sedemikian, maka
Hak Tidore menuntut pembayaran kompensasi kepada Sultan Tidore senilai f 6.000.
Dalam tahun 1903, Pemerintah Kerajaan
Belanda telah mulai melakukan kolonisasi di wilayah Papua Barat. Pertama,
melalui pengiriman orang-orang Jawa ke Merauke untuk menetap disana.
Dalam tahun 1904, Pemerintah Hindia
Belanda telah melakukan kontak hubungan teritorial dengan penelitian di Papua
Barat dan menyimpulkan bahwa hubungan antara Sultan Tidore dan Papua Barat
merupakan sebatas teoritikal, (H. Colijn, 1907:13). HOLLANDIA (sekarang
Jayapura) yang mana telah menjadi terpenting dalam perang dunia II, telah
dimekarkan menjadi Sub Distrik (Sub Afdeling) New Guinea Utara (Manokwari).
Mengikuti isu Partai Komunis Indonesia
di Jawa dan Sumatra dalam tahun 1926/1927, Pemerintah Hindia Belanda dari
komplitkasi 1.308 dengan 823 keluarga telah di penjarakan dan telah dikirim
oleh Gubernur de Groeff ke Camp, Penjara Digoel di Tanah Merah dekat Merauke.
Pada tanggal 28 October tahun 1928, di
Batavia Organisasi Pemuda Indonesia telah dapat melakukan sebua ikrat yang
disebut ”Sumpah Pemuda Indonesia”. Dalam Sumpah Pemuda Indonesia ini, yang
termasuk Indonesia adalah: Jong Java, Jong Sumatra, Jong Celebes, Jong Ambon,
dan lain pulaunya. Papua tidak termasuk dalam Sumpah Pemuda Indonesia, maka
cecara otomatis Papua tersendiri dari Indonesia atau bukan Indonesia. Fakta ini
membuktikan bahwa orang Papua tidak memiliki hubungan sama sekali dengan orang
Indonesia.
Dalam tahun 1931, Belanda mulai
melakukan explorasi Minyak di Papua Barat. Pada tahun yang sama, dalam
laporannya oleh wakil Kerajaan Belanda untuk Maluku ditujukkan kepada
Pemerintah di Batavia (JAKARTA sekarang) dan B.J. Hoga bahwa orang-orang
pribumi Papua Barat bukan bagian dari TIDORE, dan berkonfirmasi kepada wakil
Kerajaan Belanda di Maluku bahwa haya Raja Ampat, Onim dan Kaimana (J.M.J,
Brantjes, 195:26). Dengan demikian, maka klaim Tidore atas Papua Barat tidak
terbukti.
Dalam tahun 1935, Pemerintah Jepang
mulai melakukan aktivitas Intelejen pada pra Perang Dunia ke II di Papua Barat,
melalui agen perusahaan komersial. Nama Perusahaan dimaksud adalah ” Nanyo
Kahatsu Kabushiki Koisha” di Manokwari.
Pada tanggal 09 Maret 1942, Papua Barat
telah di invasi dan pala Tentara Jepang memulai melakuka Perang Dunia II di
territorial ini. Jepang telah melakuka pendudukan selama dua tahun di Papua
Barat.
Pada tanggal 30 July 1944, Allied Forces di
bawah Komando Gen. MacArthur menyerang pala tentara jepang dengan penuh
kekuatan di Sausapor, Werur, Amsterdam dan Pulau Middleburg dan sekaligus
mengakhiri pendudukan Jepang di Papua Barat, satu tahun sebelum orang Indonesia
memproklamasikan kemerdekaan mereka. Mengikuti penyerahan Jepang, Administrasi
Cipil di Papua dengan segera transfer untuk control kepada Netherlands Indies
Civil Administration (NICA) oleh Allies. Kesimpulannya, pasukan Amerika yang dipimpin
oleh MacArthur ini telah membantu sekutunya (Belanda).
D. The United Nations
Organization
On April 25, 2945, the Conference opened at San Francisco.
More than 200 delegates from 50 nations assembled at the War Memorial Opera
House, with the US Secretary of State, Settinius in the chair. After two months
of labor, The Charter Of the United Nations was completed. It was to come into
force when ratified by the United States, Great Britain, Russia, France, and
China. On June 26, 1945, President Truman made the closing speech in San
Francisco, and sent the Charter to the Senate on at once. On July 28, 1945, the
Senate ratified the Charter with decisive vote of 89 to 2. One of the purposes
fo the UN is 'to develop friendly relations among nations based on respect for
the principle based on EQUAL RIGHTS and SELF-DETERMINATION,' as specifically
stipulated in Article 73 (a) and (b) of the Charter.
Explanation (Penjelasan):
- Dalam Konferensi Internasional di San Fransisko pada tanggal 25
April 1945, yang di hadiri 200 delegasi dari 50 Negara telah membuat pernyataan
dan melengkapi Badan Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Disana telah
memberikan kewenangan khusus kepada lima Negara Anggota PBB, sebagai pemekang
Hak Veto. Negara-Negara yang dimaksud adalah: Amerika Serikat, Kerajaan
Inggris, Russia, Francis dan China.
- Pada tanggal 26 Juni 1945, Presiden Truman membuat pembicaraan
tertutup di San Fransisko, dan mengirim hasil pernyataan yang telah ditetapkan
pada tanggal 25 April 1945 di atas kepada Senat Amerika Serikat sekali. Pada
tanggal 28 Juli 1945, Senat Amerika telah dapat meratifikasi pernyataan ini
dengan 89 suara. Satu pemahaman bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa membagun dasar
hubungan persahabatan antar Bangsa-Bangsa dengan respek untuk prinsip yang
mendasar atas Hak-Hak yang sama dan Penentuan Nasib Sendiri, terlebih khusus
kondisi Negara dalam article 73 (a) and (b) pada pernyataan ini.
- Bagian ini adalah menjadi landasan Hukum Positif bagi perlindungan
Hak-Hak Asasi Manusia di muka bumi, yang mana merupakan tanggung jawab Individu
serta lembaga-lembaga swasta dan terutama Pemerintah dalam Negara.
E. United Nations Decolonization
Program
As a realization of Article 73 (a) and
(b) of the Charter, upon UN General Assembly's request, a colonial territorial
assessment was carried out in 1946 by eight states (Australia, Belgium,
Denmark, The Netherlands, New Zealand, UK and the USA). Based on the assessment
72 (seventy two) colonies throughout the world were formally declared by the
United Nations as 'NON SELF-GOVERNING TERRITORIES,' including West Papua, which
had to be DE-COLONIZE. As a result, the UNGA adopted Resolution 66 (1) of
December 14, 1946, containing a de-colonization list. Based on the above
resolution, immediate preparatory steps toward independence of the colonies
were taken by the colonizing states under control of the United Nations. A
number of UNGA Resolutions were adopted in this regard respectively afterwards.
In the South Pacific region, conducted
in Canberra in 1947. The South Pacific Commission. The SPC was initially aimed
to establish and strengthen international cooperation in promoting advancement
of the well-being of the peoples in the South Pacific Islands in general
preparation toward eventual self-determination, in line with the UN
Decolonization program.
Explanation (Penjelasan):
- Berhubungan dengan article 73 (a) dan (b) dalam Konferensi tanggal
25 April 1945, Majelis Umum PBB memitah kepada Negara-Negara agar segera keluar
dari teritorial Colonial dalam tahun 1946. Permintaan Majelis Umum PBB ini
terutama kepada 8 Negara anggota PBB seperti, ”
(Australia, Belgium, Denmark, The Netherlands, New Zealand, UK and the USA)”
untuk menjadi Hakim dan contoh bagi Negara-Negara Colonial lain. Tujuh puluh
dua (72) daerah jajahan harus keluar dari penjajahan dan diberikan kemerdekaan
penuh, sesuai Deklarasi PBB atas wilayah-wilayah tak berpemerintahan, termasuk
Papua Barat, yang mana masih dalam de-colonisasi. Hal ini atas hasil, adopsi
resolusi 66 (1) Majelis Umum PBB (UNGA) tertanggal 14 Desember 1946 berdasarkan daftar
de-colonisasi PBB.
- Berdasarkan resolusi Majelis Umum PBB di atas, maka Pemerintah
Belanda telah dapat melaksanakan persiapan Negara Papua. Hal ini telah dapat
terbukti dari upacara perdana, bersama antara Pemerintah Belanda dan
wakil-wakil bangsa Papua yang berdomisili di bagian Barat pulau New Guinea pada
tanggal 1 Desember 1961.
- Selengkapnya akan dapat dijelaskan pada bagian huruf G dan H, oleh
karena itu para pembaca diberikan kesempatan agar menyesuaikan diri dan dapat
di pelajarinya.
F. Declaration on the Granting
of Independence to the Colonials Countries and Peoples. A/RES/1514 (XV) 14
December 1960
The General Assembly
Mindful of
the determination proclaimed by the peoples of the world the Charter of the
United Nations to reaffirm faith in fundamental human rights, in the dignity
and worth of the human person, in the equal rights of men and women, and of
nations large and small and to promote social programs and better standards of
life in larger freedom,
Conscious
of the need for the need for the creation of conditions of stability and
well-being and peaceful and friendly relations based on respect for the
principle of equal rights and self-determination of all peoples. and of
universal respect for, and observance of, human rights and fundamental freedoms
for all without distinction as to race, sex, language or religion,
Recognizing
the passionate yearning for freedom in all dependent peoples and the decisive
role of such peoples in the attainment of their independence,
Aware of
the increasing conflicts resulting from the denial or of impediments in the way
of the freedom of such peoples, which constitute a serious threat to world
peace,
Considering
the important role of the United Nations in assisting the movement for
independence in Trust and Non-Self-Governing Territories,
Recognizing
that the people of the world ardently desire the end of colonialism in all its
manifestations,
Convinced
that the continued existence of colonialism prevent the development of
international economic cooperation, impedes the social, cultural and economic
development of dependent peoples and militates against the United Nations ideal
of universal peace,
Affirming
that people may, for their own ends, freely dispose of their natural wealth and
resources without prejudice to any obligations arising out of international
economic cooperation, based upon the principle of mutual benefit and
international law,
Believing
the emergence in recent years of a large number of dependent territories into
freedom and independence, and recognizing the increasingly powerful trends
towards freedom in such territories which have not yet attained independence,
Convinced
that all peoples have an inalienable right to complete freedom, the exercise of
their sovereignty and the integrity of their national territory,
Solemnly
proclaims the necessity of bringing to a speedy and unconditional end
colonialism in all its forms and manifestations,
And this to
end,
Declares that:
· The subjection of peoples to alien
subjugation, domination and exploitation constitutes a denial of fundamental
human rights, is contrary to the Charter of the United Nations and is an
impediment to the promotion of world peace and cooperation.
· All peoples have the right to
self-determination; by virtue that right they freely determine their political
status and freely pursue their economic, social and cultural development.
· Inadequacy of political, economic, and
social or educational preparedness should NEVER serve as pretext for delaying
independence.
· All armed action or repressive measures
of all kinds directed against dependent peoples shall cease in order to enable
them to exercise peacefully and freely their right to complete independence,
and the integrity of their national territory shall be respected.
· Immediate steps shall be taken, in Trust
and Non-Self-Governing Territories or all other territories which have not yet
attained independence, to transfer all powers to the peoples of those
territories, without any conditions or reservations, in accordance with their
freely expressed will and desire, without any distinction as to race, creed or
colour, in order to enable them to enjoy complete independence and freedom.
· Any attempt aimed at the partial or
total disruption of the national unity and the territorial integrity of a
country is incompatible with the purposes and principle of the United Nations.
· All states shall observe faithfully and
strictly the provisions of the Charter of the United Nations, the Universal
Declaration of Human Rights and the present Declaration on the basis of
equality, non-interference in the internal affairs of all States, and respect
for the sovereign rights of all peoples and their territorial integrity.
Explanation (Penjelasan):
- Berdasarkan Resolusi A/RES/1514 (XV) Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa pada tanggal 14 December 1960 di atas, maka Pemerintah Belanda
berkewajiban dan bertanggung jawab atas Hak Menetukan Nasib Sendiri bagi Bangsa
Papua yang berdomisili di bagian Barat pulau New Guinea. Dalam hal ini, Belanda
berniat baik untuk memberikan Kemerdekaan penuh bagi Bangsa Papua, di bagian
Barat Pulau New Guinea, namun niat baik Pemerintah Belanda ini telah digagalkan
oleh kepentingan imperalisme Amerika dan Indonesia.
- Uraian dalam bahasa Inggris sangat padat dan jelas, maka para
pembaca diberikan kesempatan agar dipelajari dengan seksama dan efective.
G. West Papua Decolonization
Human Resources Preparation:
In
Resolution 845 (IX) of 22 November 1954, the General Assembly invited Member
States to extend generously to the inhabitants of Non-Self-Governing
Territories their offers of facilities, not only for study and training of
university standard, but in the first place, for study at the post-primary
level as well as technical and vocational training of immediate practical
value.
After noting the observations of UN
Committee on Information, the General Assembly adopted Resolution 1967 (XVI) on
19 December 1961. In this resolution the General Assembly considered that the
light of the Decolonization on the Granting of Independence to Colonials
Countries and Peoples, continued in its Resolution 1514 (XV) of 14 December
1960, IMMEDIATE STEPS SHOULD BE TAKEN TO TRANSFER ALL POWERS TO THE PEOPLES OF
THE NON-SELF-GOVERNING TERRITORIES WITHOUT ANY CONDITIONS OR RESERVATION, and
that the rapid preparation and training of indigenous personnel would help
towards the achievement of the purposes of Resolution 1514 (XV).
Territorial Government:
Days before sovereignty recognition by
the Dutch government on Indonesia in 1949, West Papua, known as Netherlands New
Guinea was affirmed in 1950 as a special autonomy government, headed by a
governor based on the Netherlands Government's Official Gazette J.576, of
December 22, 1949.
In the light of Resolution 1514 (XV) and
other related resolutions, West Papua's independence immediately underwent its
preparatory stages.
Long before the adoption of Resolution
1514 (XV), the Netherlands government issued an Official Gazette, Stattsblad
J.599, January 10, 1949, for the establishment of a West Papuan Council,
consisted of a number of peoples' representatives, that would function as a
legislative body. However, due to special considerations the plan was only
brought into realization on April 05, 1961.
Based on NNG Govt. Official Gazette 1961
No. 6B (National Flag), 1961 No. 69 (National Anthem), and 1961 No. 70 (Flag
Raising) of November 18, 1961, the West Papuan National Attributes were officially
announced, and used effectively on December 01, 1961.
The Dutch Government action to free West
Papua infuriated Soekarno. On December 19, 1961, Soekarno in a political rally
in Yogyakarta declared his national command, commonly know as the 'Triple
Command of the People' to annex West Papua.
Joseph Luns Connection
Joseph Luns, the Dutch Foreign Minister
deliberately misled the Dutch parliament in the 1950s by informing them that he
had secured an agreement with US Secretary of State, John F. Dulles,
guaranteeing US support for Holland in the event of armed conflict over the
West Papua dispute (as was admitted when interviewed by Dr. Paulgrain in 1981
in Brussels).
During the negotiations in 1962 that led
to the government, Luns' instructions to the Dutch representative, van Roijen,
were so counterproductive in helping to attain self-determination for the
Papuans that van Roijen refused to speak with Luns ever again.
With Bunker as mediator, the talks were
an unending retreat by the Dutch from their initial standpoint. Kennedies
Connection page
revision: 0, last edited: 27 Sep 2009, 01:16 GMT+0900 (880 days ago).
Explanation
(Penjelasan):
- Majelis Umum PBB mempertegaskan kepada Negara-Negara Anggota PBB,
agar wajib melaksanakan semua keputusan dan penetapan melalui
Deklrasi-Deklarasi atau pun Kovenan-Kovenan Internasional serta
Konvensi-Konvensi Internasional;
- Hal ini termasuk Hak Menentukan Nasib Sendiri, sebagaimana dapat
di jelaskan sesuai resolusi 1514 (XV) Majelis Umum PBB tentang De-Colonisasi,
juga telah ditetapkan pada Kovenan Internasional atas Hak-Hak Sivil dan Politik
dalam Article 1 Paragraph 1, 2, dan Paragraph 3, yang telah disetujui bersama
dalam Sidang Majelis Umum PBB pada tanggal 16 Desember 1966;
- Semua Dasar Hukum Hak-Hak Asasi Manusia yang telah dapat di
jelaskan pada poin atau huruf D, E, F, dan G di atas, maka bangsa Papua di
bagian Barat Pulau New Guinea mempunyai Hak untuk Menentukan Nasib Sendiri. Hak
ini belum terlaksan sesuai mekanisme PBB dalam penjelesaian Konflik atau
wilayah Jajahan tanpa berpemrintahan, maka Hak Menentukan Nasib sendiri bagi
Rakyat Bangsa Papua masih dan akan berlaku.
H. Bersiapan Kemerdekaan Bagi Orang Papua Asli
Berdasarkan dengan Dasar Hukum Positif atas
Hak Menentukan Nasib sendiri bagi wilayah-wilayah tak berpemerintahan, yang
hidup di bawah control dari Negara-Negara penjajah, sesuai deklarasi-deklarasi
serta perjanjian Internasional, sebagaimana dapat di jelaskan pada poin D, E, F
dan G dalam article ”Historical Flashback of West Papua” ini, maka Hak
Menentukan Nasib Sendiri bagi Orang Pribumi Papua Barat dipersoalkan. Mengapa?
Karena, sebenarnya Hak orang-orang Pribumi Papua Barat benar-benar di langgar.
Sebab Hak ini dijamin oleh Hukum HAM Internasional, sebagaiman sesuai Resolusi
1514 (XV) Majelis Umum PBB.
Belanda telah mempersiapkan dengan matang atas
berdirinya sebuah Negara, sebagaimana dapat di jelaskan pada poin atau bagian
huruf G di atas. Silakan simak dan pelajari dengan seksama dan se-efective-nya.
Bagaimana cara Papua Barat dipersiapkan untuk
menjadi sebuah Negara, oleh Pemerintah Belanda dapat di jelaskan pada bagian
ini. Mari kita simak!
Pertama, pembentukan Komite Nasional, Bendera dan Lagu
Kebangsaan. Pada tanggal 26 September 1961, Menteri Luar Negeri Belanda (Luns)
berpidato di PBB bahwa Internasionalisasi Papua Belanda harus cepat. Pada
tanggal 19 Octobert 1961, sejumlah Tokoh Papua mengadakan pertemuan. Agenda
utama adalah pembentukan Dewan Papua (New Guinea Raad) tahun 1961. Pada
tanggal 5 April 1961, Pembukaan Dewan Papua dilakukan oleh Menteri Toxopeus
yang di damping oleh Bot.
Kedua, perdebatan telah mulai
di dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam Sidang Majelis
Umum PBB di tahun 1960, Soebandrio datang dengan catatan menyindir tentang
lemari Negara Boneka Papua. Hal itu tidak di terima dengan baik oleh
orang-orang Papua.
Ketiga, Pada tanggal 21
Octobert 1961, Rapat pertama. Agenda utama dalam rapat ini adalah Pemilihan dan
penetapan Lambang-Lambang, yang akan harus menunjukkan jati diri Negara dan
bangsa Papua Belanda. Yang dimaksud adalah: ”Bendera, Perisai
Lambang, Lagu Kebangsaan, Nama Negara dan Semboyan.
Masing-Masing, dapat dijelaskan sebagai
berikut:
- Bendera :
Bintang Kejora;
- Lambang :
Burung Mambruk;
- Lagu
Kebangsaan : Hai Tanahku Papua (lagu ini
di ciptakan tahun
1923, oleh
Missionaris sending I.S. Kinje);
- Nama Negara : New
Guinea Nederlands;
- Semboyan :
Keanekaragaman dalam Kesatuan;
- Bahasa:……?
Selanjutnya, Komite Nasional di serahkan
kepada Dewan Papua atas prakarsa 10 orang anggota perhimpunan, dalam satu rapat
luar biasa pada tanggal 30 Octobert 1961. Penerimaan Bendera menunjukan
Aspirasi orang-orang Papua untuk menjadi suatu bangsa yang merdeka, tetapi hari
itu ia di kibarkan, tidak terjadi hari perpisahan dengan Belanda. Source: BAB
11, Blues Papua, Dewan Papua dan Partai-Partai. (Hal:563-572, Buku P.J.
Drooglever-An Act of Free Choice in West Papua).
- DP : Dewan
Papua (New Guinea Raad)
- KNP : Komite
Nasional Papua
- DVP :
Partai-Partai Manokwari
- Parna : Partai yang
berpihak Indonesia di Manokwari
- Animba : Partai
Politik di Merauke
Tokoh-Tokoh dalam Dewan dan Partai Politik:
1. Elieser J. Bonay
2. Marthen Indey (dapat dididik di Ambon, maka paham yang berbeda
dengan Nicolas Jouwe).
3. B.T.J. Jufuway
4. Nicolas Jouwe
5. Frans Kaisepo
6. Tanggama Torey
7. Womsiwor
8. Abdulah Arfan
9. Frits Kirihio
10. Herman Wajoy
11. Amos Indey
12. Rumasewu 1960-an
13. Silas Papare (Seorang Papua yang
tinggal di Indonesia, yang active dalam berbagai Kampanye Irian di
Indonesia).
Pada tanggal 18 November 1961, sesudah rapat
luar biasa Dewan, peraturan-peraturan mengenai Bendera dan Lagu Kebangsaan
sesuai nasihat Dewan Tinggi Bangsawan (Hoge Raad Van Adel) di Den Haag,
Belanda ditetapkan oleh ”Platteel” di dalam ordonansi-ordonansi.
Sesuai rencana, pengibaran Bendera berlangsung
pada tanggal 1 Desember 1961 di Hollandia dan di semua underafdeling.
Dimana-mana hal itu telah terjadi di dalam suasana khikmat dan tenang, dan di
hadiri oleh penguasa-penguasa setempat. (Hal:575 Buku Prof. P.J.
Drooglever).
Pada masa-masa ini banyak anggota kelompok Infiltrasi-Infiltrasi
yang dimotori oleh Infiltran dari Ambon, Key dan Jawa, yang mana telah
menjadi pegawai pemerintah Belanda di Papua Barat.
Kelompok Infiltran ini membuat banyak
organisasi yang kerja dibawah tanah (Rahasia), yang pada prinsipnya
mengkampanyekan Irian Barat, yang berhubungan dengan Indoesia.
Misalnya:
Organisasi Pemuda Irian (OPI), Gerakan Irian
Barat (GRIB), pada Bulan Mei 1962 dilaporkan bahwa ada pembentukan satu
organisasi lagi yaitu, Pemoeda Soekarela Indonesia (PSI) yang beranggotakan 70
orang Infiltran dan orang Lokal-Papua yang telah berhasil cuci otak oleh
Inflitran-Infiltran dari Ambon dan Jawa tadi. Di dalam organisasi ini
orang-orang Key memainkan peranan penting.
Definisi kata Infiltran adalah:
- Kelompok orang yang ditugaskan oleh Negara, yang mana menajadi
Pegawai Negeri Civil atau pun tenaga kerja swasta seperti, Guru-Guru, Mantri,
Pelayan Gereja dan lain-lain, dengan dalih bahwa kami sama-sama orang Kristen
dan dengan dalih lainnya.
- Kelompok Infiltran adalah spionase para penjajah, untuk tujuan
melakukan kegiatan mata-mata serta mencuci otak pada orang-orang dari bangsa
lain yang hidup dibawah penjajahan.
Notes:
Hal ini telah terbukti di Papua dan sedang
disaksika. Oleh karena itu, jangan percaya kepada Pendeta-pendeta, Guru-Guru,
Pegawai Negeri Sivil, petugas Gereja dan Swasta dari orang Melayu yang
melakukan infiltrasi-infiltrasi di Papua, terhadap orang-orang Indigenous
Papua. (Hal:580-586, Buku Prof. P.J. Drooglever).
Dalam pendirian Partai-Partai Politik di
Papua, orang Muju dan Merauke buat satu Partai lagi yaitu, Volkspartij Voor
Vrijbeden Rech (Partai Rakyat Untuk Kemerdekaan dan Keadilan), yang lahir pada
tanggal 14 Mei 1962. Pemimpinnya: Johanis Tamberan (Pendiri).
Akhirnya, pada tanggal 25 Mei 1962
Anggota-Anggota Papua Dewan Daerah bergabung dengan pimpinan VVR-PRKK membentuk
satu kelompok aksi yaitu, ”AKHIRNYA MENENTUKAN NASIB SENDIRI”. Keinginan
utama adalah untuk mengumpulkan semua Infiltran Indonesia dan mengadili mereka.
Wilayah ini diwakili di dalam Dewan Papua oleh Kaleb Gebze. Untuk wilayah
Enarotali dan danau-danau Wisel ada perwakilannya yaitu, ”Willem Songgonau”,
salah seorang Ekari-Moni yang bersekolah di Sekolah Guru di Hollandia, telah
menjadi anggota Komite Nasional Papua disitu.
Semacam organisasi Politik, di Lembah Balim
yang luas itu tidak ada. Hal ini disebabkan oleh karena masuknya orang Barat
masih dalam stadium paling dini. (Hal:587-Buku Prof. P.J. Drooglever).
Segera sesudah debat-debat, Parlemen di Belanda
pada tanggal 6 Januari 1962, Komite Nasional berkumpul untuk ketiga kalinya di
Hollandia. Disana dicoba untuk mendapat cantolan (informasi) atas
perkembangan-perkembangan di Belanda.
Orang Papua menyatakan setuju dengan niat
Belanda untuk mulai lagi perundingan dengan Indonesia, tetapi dengan
persyaratan bahwa Wakil Bangsa Papua harus ikut serta di dalamnya dengan satu
delegasi sendiri. (Hal:589-Buku Prof. P.J. Drooglever).
Dalam minggu-minggu berikutnya, perundingan
yang diminta mengenai Hak Menentukan Nasib Sendiri (Self-Determination)
berlangsung, dan berbagai keinginan di afdeling-afdeling di bicarakan. Pada
tanggal 7 Februari 1962, rancangan jawaban sudah selesai. Jawaban itu di kirim
ke Bot di Den Haag, Belanda, yang dengan itu mendapat kesempatan untuk
memberikan komentar.
Dokumen dibuka dengan membicarakan klaim-klaim
Indonesia, seperti diucapkan oleh Soebandrio dalam rapat terakhir Sidang
Majelis Umum PBB. Kata Soebandrio: Pendirian Indonesia bahwa Papua sudah
termasuk di dalam proklamasi 17 Agustus 1945. Sekali lagi di tolak, dengan
alasan bahwa Papua lain dari Jawa, pada saat itu sudah dibebaskan oleh Sekutu (Amerika-Eropa).
Hak untuk Menentukan Nasib Sendiri ada pada penduduk setempat, dan kewajiban
untuk mendidik orang Papua dipercayakan kepada Pemerintah Belanda sebagai
Anggota PBB. Dari uraian di atas menunjukan bahwa Klaim Indonesia tidak
berdasar dan tidak memiliki kekuatan Hukum, maka semua pemikiran dan tindakan
Indonesia atas Papua Barat adalah tindakan criminal dengan watak pencuri dari
animo melacur tinggi.
I. Perjanjian (New York Agreement 15 August
1962) dan Penyerahan Administrasi Pemerintahan Papua Barat Kepada UNTEA
a) Masuknya
UNTEA Dalam Genggaman Jakarta
Sebagaimana telah di uraikan terdahulu tentang
gambaran umum atas suasana batin di antara penduduk asli selama tahun terakhir
pemerintahan Belanda. Hal ini, Pemerintah Belanda berangkapan bahwa masih bisa
mempertahankan perundingan demi kepentingan-kepentingan orang-orang Papua.
Namun di kalangan penduduk Belanda di Den Haag, ketidakpastian penduduk pulau
itu makin besar.
Artinya, mayoritas penduduk
Belanda di Den Haag meragukan perundingan-perundingan antara Belanda dan
Indonesia. Mengapa?
Karena posisi Pemerintah Belanda Lemah dan masih di bawah tekanan Amerika dan
PBB. Sementara, pihak Papua kepercayaan terhadap Pemerintah Belanda masih
dominan.
Oleh karena itu, gambaran berbeda-beda,
tergantung pada posisi dan harapan-harapan pengamat. Berkenaan dengan situasi
ini, pada kunjungannya di Bulan November 1961, Wartawan Australia yang
diintroduksi dengan baik oleh ”Peter Hasting” yang mensketsakan satu
gambaran yang cukup suram.
Lain halnya dengan diplomat ”Parcival”,
yang singgah setelah beberapa bulan kemudian di Papua. Ia mengkonstatasi bahwa
walaupun makin banyak perempuan dan anak-anak Belanda berangkat ke Belanda dari
Papua, namun moral pria Belanda tinggi dan semangat, dan bahwa bekerjaan
berjalan terus sebagaimana lasimnya.
Artinya, orang Belanda tetap
setia menjalankan pekerjaan dalam pembangunan di Papua. Tetapi bagi
penduduk asli orang Papua semakin anti
Indonesia, karena tekanan serta manuver-manuver politik terror dan aksi-aksi
pada akhir tahun 1962.
Lebih lanjut, ”Precival” seperti banyak
orang Australia sendiri yang mengunjungi Papua, tersentuh oleh pergaulan yang
bersahabat antara orang-orang Papua dan Belanda.
Pengiriman Pasukan Perdamaian (United Nations
Security Force), 1.500 orang yang telah dikirim oleh U’Than
(Sekjen) PBB, delapan belas penasehat atau pengamat Militer yang bersal dari 6
Negara untuk mengawali pelaksanaan kencatan senjata.
Sekali pun Pasukan PBB sudah berada di Papua,
tetapi operasi-operasi Tentara Indonesia dapat berjalan terus. Pasukan PBB
tidak berdaya mengendalikan agresi militer Indonesia. Hal ini terbukti dari
laporan REESER,
setelah berkunjungnya di Hollandia pada tanggal 18 Agustus 1962. (Hal:613-615,
Buku Prof. P.J. Drooglever).
b) Anggota PBB lain yang ikut terlibat
dalam pengamanan di Papua adalah:
1. Dr.
Djalal Abdoh-Diplomat Persia untuk PBB
2. Jose
Rolz Bennett-Pejabat Kepala kantor PBB
3. Platteel-Belanda
4. H.
Veldkam-Belanda
Mereka ini sebagai administrator, dalam
pelaksanaan missi PBB di Papua pada tahun 1962-1963. Pertanyaan sangat rumit
adalah bagaimana memperlakukan bendera Papua.
Dari pihak Belanda sudah dinyatakan bahwa hal
ini tidak perlu dipermasalahkan, karena menurut kesepakatan New York dibawah
Pemerintahan UNTEA semua peraturan perundang-undangan tetap dipertahankan.
Pengadaan satu bendera negeri adalah salah
satu daripadanya. Akan tetapi, Bennett dari sejak awal menjelaskan bahwa di
dalam kesepakatan New York tidak diberitakan tentang bendera semacam itu, dan
bahwa PBB tidak menginginkannya.
Perwira-Perwira penghubung yang di tempatkan
dalam Pemerintah UNTEA, diplomat Goedhardt-Belanda dan Sudjarwo-Indonesia.
Anggota UNTEA di Papua tahap awal 170 orang.
Masuknya pegawai-pegawai dan Tentara Orang Indonesia juga berlangsung tidak
sesuai rencana. Sementara, kesepakatan di Middleburgh menyepakati bahwa
Kekuatan besar-besaran boleh terjadi sesudah berakhirnya fase pertama UNTEA.
c) Lahirnya kesepakatan atau Perjanjian New York
15 Agustus 1962
Juru-Juru Runding:
1. Soebandrio-Indonesia
2. Adam
Malik-Indonesia
3. Van
Roijen-Belanda
4. Bunker-Ambasator
Amerika (Mediator)
5. U’Than-Sekjen
PBB
d) Isi Perjanjian New York 15 Agustus
1962
Pada dasarnya dapat mengatur tentang
langkah-langkah yang ditempuh dalam proses pelaksanaan Self-Determination di
Papua Barat, yang dipertegaskan atas Hak-Hak Kebebasan orang Papua Asli dalam
melakukan Referendum.
Hak-Hak ini termasuk:
Hak Kebebasan Berkumpul, Hak Berorganisasi,
Hak Berbicara, Hak Kebebasan Memilih dan Hak-Hak lain dalam mengahadapi
Referendum pada tahun 1969 di Papua Barat, berdasarkan Article 1 Paragraph 1,
2, dan Paragraph 3 ”The International Covenant on Civil and Political Rights”.
Perjanjian New York dibuat berdasarkan,
perundingan-perundingan panjang antara Pemerintah Belanda dan Pemerintah
Indonesia. Wakil bangsa Papua tidak dilibatkan. Hal ini adalah kekeliruan besar
oleh PBB, Amerika Serikat, Belanda dan Indonesia. Mengapa? Sebab, menurut Hukum
memang telah dilanggar Hak Bangsa Papua oleh ketiga kelompok kepentingan atas
Papua Barat.
Pesan:
(Selengkapnya boleh memperoleh Buku Karya Rev.
Socratez Sofyan Yoman, yang berjudul PEPERA 1969 di Papua Bara Tidak Demokratis
dan Cacat secara Hukum dan Moral).
J. Perjajian Roma (Roma Agreement)
Perjanjia ini juga tidak jauh beda dengan
Perjanjian New York, dimana lahirnya suatu perjanjian sebelum menghadapi
Referendum di Papua Barat, berdasarkan perundingan ke perundingan antara
Pemerintah Belanda dan Pemerintah Indonesia atas Hak Pengelolaan dan
Pembangunan di Papua Barat.
K. Penyerahan Administrasi Pemerintahan Papua
Barat kepada Pemerintah Indonesia dari UNTEA
Akhirnya, pada tanggal 1 Mei 1963, UNTEA
melakukan transfer atau penyerahan Administrasi Papua Barat kepada Pemerintah
Republik Indonesia dan Fase pertama otoritas UNTEA telah berakhir.
Penyerahan Administrasi dari UNTEA kepada
Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963 adalah Kesalahan vatal dari PBB. Mengapa?
Karena, seharusnya UNTEA tetap menangani Administrasi Pemerintahan di Papua
Barat sampai dengan pelaksanaan PEPERA tahun 1969. Namun karena UNTEA
menyerahkan Administrasi Papua Barat kepada Pemerintah Indonesia, maka
Indonesia beranggapan bahwa mereka mempunyai Hak penuh dan berwenang atas Papua
Barat.
Dengan dasar pemahaman sempit ini, maka
Pemerintah Indonesia telah melakukan tindakan AGRESI Militer-nya yang brutal
dan bengis, terhadap orang-orang Indigenous Papuans.
Untuk lebih jelasnya, tentang Agresi Militer
Indonesia di Papua dapat dijelaskan pada bagian berikut dalam huruf L dibawah
ini. Para pembaca diberikan kesempatan, agar dapat mempelajarinya dengan
seksama dan se-efectivenya.
L. Invasi Militer Indonesia di Papua Bagian
Barat Pulau New Guinea
Dengan di Legitimasinya penyerahan
Administrasi Pemerintahan Papua Barat dari UNTEA kepada Pemerintah Republik Indonesia
pada tanggal 1 Mei 1963, maka Indonesia telah dapat melegalkan diri atas semua
tindakan dalam aksi-aksi Militernya.
Tindakan Militer Indonesia yang dimaksud,
telah dapat lakukan dari tanggal 1 Mei 1963 sampai dengan tahun 1969, dimana
berakhirnya PEPERA yang dapat di REKAYASA dengan Penuh TERROR dan INTIMIDASI.
Hal ini adalah Fakta.
Untuk membuktikannya, silakan ikuti Pengakuan
Letje Purn Sintong Panjaitan dalam Bukunya yang berjudul "Perjalanan Seorang Prajurit
PARA KOMANDO" dibawah ini. Silakan simak!
"Perjalanan
Seorang Prajurit PARA KOMANDO" pada halaman 145-187 tentang peristiwa pelanggaran hak-hak asasi
manusia atas bangsa Papua Barat. Dalam bukunya Sintong Panjaitan mengulas
dengan jelas bahwa PEPERA 1969 dapat dimenangkan melalui operasi, TEMPUR, operasi TERITORIAL dan
operasi WIBAWA
yang bertujuan untuk menteror, dan Intimidasi orang Asli Papua, yang pro
Merdeka.
Sintong Panjaitan juga telah menambahkan, bahwa
seandainya kami (TNI) tidak melakukan operasi-operasi TEMPUR, TERITORIAL dan
WIBAWA sebelum dan paska pelaksanaan PEPERA dari Tahun 1965-1969, maka saya
yakin bahwa PEPERA 1969 di Irian Barat dapat dimenangkan oleh kelompok Pro
Papua Merdeka.
Peristiwa pelanggaran HAM ini dengan agenda
"OPERASI TEMPUR DI IRIAN BARAT" (RPKAD) tahun 1965 di kepala
Burung Manokwari; OPERASI TERITORIAL PENENTUAN PENDAPAT RAKYAT DI IRIAN BARAT
dengan operasi "KARSAYWDA WIBAWA" yang bertujuan untuk memenangkan
PEPERA 1969 melalui jalan teror, intimidasi dan pembunuhan, penculikan orang
asli Papua yang dicurigai.
DenganFakta pengakuan Sintong Panjaitan di
atas, maka telah jelas bahwa bangsa Papua telah dan sedang menjadi korban
pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia.
Sington
Panjaitan adalah Komandan Operasi Lapangan,
Pada tahun 1965-1969 sebelum dan paska pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat.
Sintong Panjaitan juga adalah pelaku dan saksi atas peristiwa-peristiwa
pelanggaran HAM terhadap bangsa Papua di bagian Barat Pulau New Guinea.
M. Pelaksanaan
PEPERA 1969 (Self-Determination) serta Hasilnya dalam Sidang Majelis
Umum PBB dan Protes Negara-Negara Anggota PBB
a) Pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua
Barat Oleh Pemerintah Republik Indonesia
Akhirnya, Penentuan Nasib Sendiri
(Self-Determination) di Papua Barat telah dilaksanakan oleh Pemerintah Republik
Indonesia dari tanggal 19 Juli 1969-4 Agustus 1969, yang dimulai dari Merauke
sampai Sorong dan berkahir di Hollandia, Papua Barat.
Pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat adalah
tidak sesuai dengan New York Agreement 15th August 1962, dan juga
tidak berdasarkan praktek Internasional sesuai mekanisme Perserikatan Bangsa-Bangsa,
dimana lasim digunakan dalam Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi daerah jajahan,
berdasarkan aturan Hukum HAM Internasional.
Pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat adalah
dengan cara Indonesia yaitu, MUSYAWARA yang tidak pernah dilaksanakan oleh PBB di
Negara mana pun di muka bumi. Hal ini adalah tindakan liar, yang pada
hakekatnya adalah KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN.
b) Protes Bangsa Papua atas Pelaksanaan
PEPERA 1969
Dengan demikian, maka pelaksanaan PEPERA 1969
di Papua Barat oleh Pemerintah Indonesia
tidak dapat dibenarkan oleh siapa pun dan dari Hukum mana pun di Dunia. Itu
sebabnya, bangsa Papua di bagian Barat pulau New Guinea telah melakukan protes
keras dan sedang berjuang terus untuk memperoleh Hak Menentukan Nasib sendiri
berdasarkan Legal
Procedure, yang lasim digunakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa
dalam menangani wilayah konflik, dimana merupakan daerah Jajahan yang dapat
menjadi sengketa politik.
c) Protes Negara-Negara Anggota PBB
atas Pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua dalam Sidang Majelis Umum PBB
Pada tanggal 3 November 1969, Hasil PEPERA
1969 di Papua Barat telah dilaporkan secara resmi oleh dua pihak. Laporan pihak
pertama adalah oleh Wakil Pemerintah Republik Indonesia, yang diwakili oleh
Soebandrio. Dan Laporan Pihak Kedua adalah oleh utusan PBB, yang mana
diwakilkan oleh Dr. Fernandez Ordiz San. Setelah mendengar laporan dari kedua
belah pihak, maka Negara-Negara Afrika dan Karibian yang dipimpin langsung oleh
Chana dan Cabon telah dapat melakukan pengajuan keberatan atas laporan, tentang
hasil Pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat.
Hal ini dapat terjadi karena dinilai bahwa
Pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua bermasalah, dan juga metode pelaksanaannya
tidak berdasarkan Mekanisme PBB. Kemudia Negara-Negara Afrika dan Caribian mengajukan
permohonan penundaan waktu dua minggu untuk mempelajari Document yang dimaksud.
Mengapa? Karena laporan ini perlu waktu yang cukup untuk di pelajari, kemudia
dapat mengajukan dalam Sidang Lanjutan.
Akhirnya, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menerima usulan Channa dan Cabon kemuadian
sidang ditunda untuk waktu dua minggu, terhitung dari tanggal 4 November 1969.
Selanjutnya, Majelis Umum PBB membuka kembali
Sidangnya pada tanggal 19 November 1969, dengan agenda mendengarkan draf usulan
dari Negara-Negara pihak protes dan juga oleh Indonesia dan Belanda.
Kemudian, Negara-Negara pihak protes,
mengajukan draf dengan Resolusi bahwa Referendum ulang harus dan wajib
dilaksanakan di Papua Barat dalam tahun 1975, dengan
dasar alasan yang rasional. Mengapa? Karena setelah mempelajari laporan
Indonesia dan Utusan PBB atas pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat,
menunjukan bahwa hasil PEPERA tidak sah dan melanggar prosedur Internasional
dan Musyawara adalah cara yang unik dan tidak dapat di terima oleh akal
sehat.
Setelah mendengar draf usulan Negara-Negara
Pihak protes, selanjutnya kiliran bagi Indonesia dan Belanda. Akhirnya, Belanda
dan Indonesia mengajukan draf usulan bersama bahwa mereka siap membangun Papua,
dengan perjanjian bahwa Indonesia siap melaksanakan pembangunan dan membangun
Papua, yang terutama di bidang Pendidikan, Kesehatan dan ekonomi serta
meningkatkan kesejahteraan bagi penduduk setempat, dan Belanda siap memberikan
suntikan Dana demi terwujudnya semua program yang di masukan dalam draf usulan.
Dengan demikian Majelis Umum PBB dengan sangat
hati-hati dan teliti, mengumumkan bahwa Sidang terhormat menerima draf usulan
Pemerintah Belanda dan Pemerintah Indonesia.
Mengapa draf usulan Indonesia dan Belanda
dapat di terima oleh Sidang Majelis Umum PBB?
Karena memang, Indonesia dan Belanda di backup
penuh oleh Amerika Serikat dan PBB. Hal ini adalah suatu manuver politik kotor
atas kepentingan Amerika dan Indonesia di Papua Barat, yang mana mengorbankan
Hak Politik bangsa Papua Barat untuk Menentukan Nasib Sendiri, dan berdiri
sebagai bangsa yang merdeka.
Berdasarkan draf usulan Indonesia dan Belanda,
maka Majelis umum PBB telah mencatat dengan Resolusi 2504. Ingat, bahwa
Resolusi ini bukan merupakan Pengesahan Hasil PEPERA 1969, melainkan hanya
sebagai catatan (TAKE NOTE) untuk melengkapi prosedur Sidang tahunan PBB.
Semua ini terbukti dari Archive PBB yang
tersimpan pada Kantor Pusat PBB di New York, Amerika Serikat, yang mana telah
dapat diteliti oleh Dr. John Salfor (Akademisi Inggris) dan juga dapat
diperkuat dari Buku karya Prof. P.J. Drooglever (Guru Besar Leiden University,
Belanda).
N. Protes dan
Perlawanan Bangsa Papua di Bagian Barat Pulau New Giunea atas Kehadiran
Indonesia
Sikap protes dan anti Indonesia telah
mengkristal dalam benak dan jiwa sanubari orang-orang Pribumi Papua Barat, dari
sejak Soebandrio berpidato di PBB dalam tahun 1960-an hingga kini. Dengan
demikian, maka bangsa Papua Barat semakin giat berjuang untuk memperoleh Hak
Dasarnya yaitu, Kemerdekaan Penuh Melalu mekanisme legal PBB, sebagaimana telah
dapat dilaksanakan terhadap bangsa-bangsa lain di muka Bumi. Yang dimaksud
adalah: Hak Menentukan Nasib Sendiri (Self-Determination) melalui
sebuah REFERENDUM yang demokratis dan bermartabat.
O. Perlawanan Bangsa Papua serta Perjuangan
Menuntut Pelanggaran atas Hak Menentukan Nasib Sendiri
Berdasarkan latar belakang yang telah
diuraikan dari huruf A sampai N di atas, maka bangsa Papua mengetahui pasti
bahwa Hak mereka telah dilanggar. Dengan demikian, maka bangsa Papua di bagian
Barat Pulau New Guinea telah dan sedang berjuang dengan gigi, untuk memperoleh
Hak dasarnya yaitu, HAK MENENTUKAN NASIB SENDIRI (Self-Determination).
P. Penutup
Demikian, Kilas Balik Sejarah Papua ini
disusun demi kepentingan pembelajaran bagi semua orang yang belum paham tentang
sejarah Papua, dan lebih khusus bagi generasi muda bangsa Papua.
Penyusunan ini adalah sort History, oleh
karena itu para pembaca diberikan kesempatan untuk mencari dan memperoleh
buku-buku Sejarah Papua yang telah di tulis oleh orang Papua sendiri, juga oleh
orang Asing dan orang Indonesia.
Yang kami tulis ini adalah versi Generasi
Penerus Perjuangan bangsa Papua, berdasarkan fakta yang benar dari hasil
referensi berbagai sumber. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Amen.
The End.
Ttd
By Atifis papua merdeka